Faktual

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada daerah yang seakidah. Belakangan fatwa ini dicabut dan meminta masyarakat untuk tidak mempersoalkan kembali. Reaksi keberatan masyarakat terhadap fatwa ini cukup berasalan di tengah Pilkada yang sebentar lagi akan digelar serentak, termasuk di Jawa Tengah.

MUI Jateng memberikan klafirikasi dengan mengatakan tidak pernah menerbitkan fatwa. Apa yang dikeluarkannya adalah sekedar menyikapi (meneruskan) fatwa MUI Pusat tentang perihal yang sama. Salah satu poin dalam surat fatwa yang beredar dari MUI Jateng tersebut sebagai berikut :

  1. Memilih dalam Pemilu adalah hak konstitusional. Demikian juga menggunakan hak pilih berdasarkan kecenderungan agama, suku dan kelompok
  2. Umat Islam wajib memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur terpercaya serta memperjuangkan kepentingan dan syiar Islam.
  3. Memilih Pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah hukumnya haram.

Kalimat wajib memilih calon pemimpin seakidah, Amanah, jujur terpercaya menjadi persoalan. Apalagi dalam redaksi selanjutnya keharaman memilih calon pemimpin yang tidak seakidah.

Menjadi persoalan adalah ketika agama, sekali lagi dalil agama yang ijtihadi, dibawa dalam konteks kontestasi politik seperti ini. Segregasi politik dengan basis kecenderungan agama akan menambah potensi segregasi sosial. Agama diletakkan sebagai preferensi utama dalam politik sebelum sifat lainnya seperti jujur dan terpercaya. Artinya, ada asumsi bahwa non muslim bukan pilihan sekalipun mempunyai kualitas.

Potensi memecah belah umat dengan menjual dalil agama dalam politik sangat tinggi. Dalam bentuk apapun seperti fatwa, tausiyah, orasi dan sebagainya yang membawa latarbelakang keagamaan dalam preferensi politik di tengah masyarakat yang beragam akan menjadi persoalan.

Memilih pemimpin dalam Islam adalah sebuah kewajiban. Ini yang harus dipahami terlebih dahulu. Dalam konteks negara yang beragam seperti Indonesia, kriteria pemimpin haruslah pemimpin yang bisa berbuat adil terhadap semua kelompok, bukan cenderung memperjuangkan kepentingan satu kelompok.

Nabi bersabda : “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, dan kalian mendoakan mereka.” (HR. Muslim). Bagaimana seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik jika hanya condong pada kepentingan kelompok sendiri. Bagaimana mereka bisa dicintai banyak orang sementara hanya condong pada satu kepentingan politik semata.

Pemimpin adalah milik semua rakyat. Keadilan menjadi salah satu pokok utama. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).

Dalam Islam, tujuan syariat adalah untuk kemashalahatan diri dan umum (ammah). Politik menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan kemashlahatan ammah. Tidak dibenarkan, jika politik hanya dijadikan alat untuk menimbulkan mafsadat di tengah masyarakat yang beragam. Memberikan seruan atau fatwa yang menggiring masyarakat pada segregasi sosial justru menimbulkan mafsadat.

Prinsip memilih pemimpin dalam masyarakat yang multi kultur adalah keadilan, kompetensi dan kemampuan. Keadilan menjadi utama sebagai bagian dari maqasih syariah untuk mewujudkan kemashlahatan bersama. Karena itulah, Yusuf Al Qardawi, dalam konteks muslim minoritas dan negara yang manjemuk tidak berdasarkan syariat Islam memberikan kriteria pemimpin tidak berdasarkan agama, tetapi pada keadilan, tidak ada permusuhan kepada Islam, dan kompetensi.

Ulama kontemporer seperti Al-Qaradawi dan lainnya berpendapat berpendapat bahwa hukum-hukum Islam harus selalu dikontekstualisasikan dengan tujuan utama syariat, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika memilih pemimpin non-Muslim lebih memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan ini, maka keputusan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.

Karena itulah, fatwa, seruan, tausiyah dan sebagainya yang menetapkan kewajiban memilih pemimpin yang seakidah dan keharaman memilih pemimpin non muslim merupakan kemunduran demokrasi, sekaligus kemunduran dalam berijtihad dalam politik. Ijtihad terus berjalan dinamis sesuai dengan konteks zaman dan waktu. Menarik kembali fatwa lama untuk kepentingan politik praktis adalah sebuah kesalahan besar dalam membangun demokrasi.

M Nimah

Recent Posts

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan,…

2 menit ago

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

1 hari ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

1 hari ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

1 hari ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

2 hari ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

2 hari ago