Categories: Narasi

Friedrich Neitzsche VS Panjul

Tak henti-hentinya panjul berkedip setengah bingung usai membaca pemikiran salah satu tokoh besar yang disebut-sebut ateis bernama Friedrich Neitzche, Franz Magnis-Suseno bahkan menyemakan tokoh ini dengan keempat tokoh besar ateis lainnya seperti Feurbach, Karl Mark, Sigmund Freud, dan Jean-Paul Sartre.

Tokoh yang satu ini terkenal melalu ’Teologi Kematian Tuhan’ yang digagasnya. Dalam pemikirannya, Tuhan telah benar-benar mati, sebab Ia telah dibunuh oleh manusia! Sambil menutup bukunya, Panjul terus saja berfikir, bagaimana bisa manusia yang lemah dan kecil ini membunuh Tuhan yang melampaui seluruh realita? Yuk bantuin Panjul berfikir. teologi kematian Tuhan merupakan sebuah hasil pemikiran yang sangat melegenda bahkan hingga kini. Banyak kalangan yang tak bosan-bosannya mendiskusikan teologi yang satu ini. Banyak yang beranggapan bahwa teologi ini adalah dasar bagi sikap ateis, sikap yang menolak ’kehadiran’ Tuhan.

Orang islam menyebut golongan ini Kafir, disrempetin dikit ke bahasa Inggris jadi cover. Artinya sama, menutup. Yakni menutup diri dari kehadiran Tuhan, sebab golongan ini meyakini bahwa Tuhan memang benar-benar telah mati. Tetapi tidak sedikit juga kalangan yang meyakini bahwa justru teologi ini adalah dasar dari tasawuf. Coba perhatikan bait berikut,

’Setiap manusia –sebagai makhluk yang berdosa- adalah pembunuh Allah. Semakin manusia melakukan dosa, semakin ia membunuh Allah dalam diri mereka’.

Menurut golongan ini, sebenarnya Neitzsche tidak bermaksud menyatakan bahwa Tuhan telah benar-benar mati sebagai diri-Nya, apalagi dalam konteks ini, ia menyatakan bahwa yang membunuh Tuhan adalah manusia. Sehingga makna kematian Tuhan lebih tepat diartikan sebagai matinya sense manusia akan keberadaan Tuhan. Em,,, panjul kira-kira paham ga ya? Yah,,,, dia malah ngantuk!

Ya sudah biarin saja, sebab justru dari ngantuknya ini Panjul memiliki hipotesa sendiri perihal teologi kematian Tuhan.

Di tengah-tengah rasa kantuknya yang kian deras melanda, Panjul setengah bermimpi bahwa Tuhan turun dan menantang langsung si Neitzsche yang tak tau diri itu,

”Heh Neitzschi!” demikian bentak Tuhan,

”Woi!” Jawab Neitzsche sombong, ”Ada apa Kau datang menemuiku?” lanjutnya bertanya,

”Kenapa namamu sama dengan nama salah satu komedian di grup komedi Cagur?”

”Haa? Yang mana?” sahutnya bertanya tidak mengerti.

”Itu loh yang badannya paling pendek, temannya si Deni dan Wendy Cagur”

”Ah,,, Tuhan salah, itu bukan Neitzsche, itu Narji!” sergah Neitzsche cepat, sebel juga dia disamain dengan dagelan.

”Alllaaahh…. apa bedanya?” pancing Tuhan,

“Saya ini seorang tokoh pembaharu, masak disamakan dengan komedian!”

”Tapi bagiku, kau sama lucunya dengan komedian yang lain. Karena kamu telah membuat lelucon berjudul kematianku” jawab Tuhan enteng.

Kali ini si Neitzsche sudah kehabisan kesabarannya, maka segera ia menyerang Tuhan dengan jurus-jurus silat yang ia kuasai. dan saat itu juga Tuhan menghilang, lenyap tak berbekas, hanya kumpulan asap putih yang tersisa.”Ha..ha,,.ha,,,!!!! Apa kataku, Tuhan telah mati!” selorohnya menyombongkan diri, Berfikir bahwa Tuhan langsung klepek-klepek dengan jurus-jurus silat yang baru saja ia keluarkan.

Dan sejak saat itu pula, ia sering berkeliling kota untuk menceritakan kemenangannya atas Tuhan. Tak lupa, ia membangun sebuah prasasti sebagai sebuah penanda khusus. Prasasti itu bertuliskan, ”Tuhan telah mati! Tertanda; Friedrich Wilhelm Neitzsche” Prasasti itu begitu terkenal, hingga semua orang mengetahui kehebatan si tokoh berkebangsaan Jerman ini.

Hingga kemudian, pada 25 Agustus 1900, tiba ’giliran’nya untuk merasakan mati. Maka pada usianya yang ke 56 tahun, tokoh ini tutup usia. Tetapi sebuah keajaiban terjadi, tepat pada saat kematiannya, tulisan yang terdapat pada prasasti yang selama ini ia bangga-banggakan itu berubah.

Tulisan itu kini berbunyi, ”Friedrich Wilhelm Neitzsche telah mati! Tertanda; Tuhan!!!” Sampai di sini, lamunan Panjul terhenti. ”Ohhh, rupanya Tuhan to yang keluar jadi pemenang” kata panjul lirih, mencoba merangkum hasil lamunannya. ”Huf,,, lagipula dasar orang aneh, Tuhan kok dilawan?!” lanjutnya sambil beranjak dari kursi yang ia duduki.

Saatnya bantu istri memasak!!!

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

2 hari ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

2 hari ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

2 hari ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

3 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

3 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

3 hari ago