Dalam dinamika sosial yang semakin kompleks, peran guru pendidik tidak hanya berkutat pada transfer pengetahuan akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Di tengah meningkatnya paparan informasi digital—serta fenomena radikalisme dan ekstremisme yang menyusup melalui ruang-ruang maya—guru menjadi garda terpenting dalam menanamkan budi pekerti sekaligus nalar kritis. Keduanya adalah fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkepribadian matang, beradab, dan mampu menangkal ide-ide destruktif.
Guru pendidik adalah guru yang membangun karakter anak bangsa di dalam menjaga kearifan lokal dan menanamkan nilai keberagaman di dalam diri seorang siswa. Maka modal dalam pengetahuan moderasi beragama senantiasa dipraktikkan di dalam pengajaran di sekolah. Tidak hanya cukup di dalam pengajaran di sekolah, guru pendidik harus menanamkan nilai moderasi beragama melalui praktik dan contoh kepada siswa sebagai bentuk implementasi keteladanan di dalam menjaga persatuan Republik Indonesia.
Karenanya, hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa sikap budi pekerti hanya bisa diajarkan melalui keteladanan dalam berbagai aspeknya, termasuk bagaimana siswa atau peserta didik bisa melaksanakan sikap budi pekerti di ruang digital, guru juga bisa memberikan pencerahan tentang ektremisme dan radikalisme. Guru yang santun, jujur, adil, dan menghargai keberagaman memberi model nyata bagi siswa tentang bagaimana bersikap dalam kehidupan sosial. Melalui interaksi sehari-hari—mengelola kelas dengan empati, menegur tanpa merendahkan, dan memberi ruang bagi dialog—guru menunjukkan bahwa nilai moral bukan sekadar teori, melainkan prinsip yang menuntun kehidupan.
Di era ketika budaya digital sering mempromosikan sensasi, konflik, dan polarisasi, keteladanan guru menjadi penyeimbang yang memulihkan kemanusiaan. Budi pekerti yang ditanamkan sejak dini menjadi benteng awal agar siswa tumbuh dengan karakter inklusif dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi kebencian. Karenanya, ekstremisme tumbuh subur ketika seseorang menerima informasi tanpa proses verifikasi, tanpa kemampuan menimbang sudut pandang lain, dan tanpa nalar kritis. Karena itu, guru memiliki tanggung jawab strategis untuk mengajarkan cara berpikir yang reflektif dan logis.
Melalui pembelajaran yang dialogis—misalnya diskusi terbuka, studi kasus, debat ilmiah, dan proyek riset sederhana—guru membiasakan siswa menganalisis teks, memahami konteks, mengenali bias, serta membedakan fakta, opini, dan manipulasi. Kemampuan inilah yang membuat generasi muda lebih tahan terhadap propaganda ekstremisme, baik yang berkedok agama, ideologi politik, maupun identitas kelompok.
Literasi kritis bukan hanya kemampuan membaca informasi, tetapi juga keterampilan memahami konsekuensi sosial, etis, dan kemanusiaan dari sebuah ide. Dengan demikian, siswa tidak sekadar cerdas secara akademik, tetapi juga bertanggung jawab secara moral. Untuk mencegah radikalisme, pendidikan tidak boleh mengabaikan keberagaman sebagai realitas bangsa.
Guru berperan membangun iklim kelas yang menghargai perbedaan suku, keyakinan, budaya, maupun latar sosial. Dengan membiasakan kerja kelompok lintas latar belakang, membahas nilai-nilai kemanusiaan, serta mengajarkan sejarah toleransi di Indonesia, siswa memahami bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan yang memperluas wawasan.
Guru yang mengintegrasikan empati dalam pendidikan membantu siswa menyadari bahwa kekerasan dan ekstremisme bukan hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga melukai nilai-nilai kemanusiaan universal. Budi pekerti tanpa nalar kritis dapat melahirkan generasi yang patuh tanpa daya analisis. Sebaliknya, nalar kritis tanpa budi pekerti dapat menumbuhkan kecerdasan yang dingin tanpa orientasi moral. Keduanya harus berjalan seimbang.
Guru menjadi fasilitator yang menggabungkan keduanya: mengajarkan kelembutan hati sekaligus ketajaman berpikir. Dengan integrasi ini, pendidikan menjadi alat untuk membentuk pelajar yang berakhlak mulia, tidak mudah termakan isu atau provokasi, mampu berdialog secara damai, dan berperan aktif menjaga kerukunan masyarakat.
Dalam dunia yang rentan oleh ekstremisme dan polarisasi, guru adalah benteng terakhir yang menjaga kesehatan moral dan intelektual generasi muda. Dengan menanamkan budi pekerti dan nalar kritis secara bersamaan, guru tidak hanya mencetak siswa yang berprestasi, tetapi juga warga negara yang arif, berempati, dan tidak mudah tergelincir dalam ide-ide radikal. Pendidikan, dengan demikian, menjadi amal intelektual dan sosial yang menjaga masa depan bangsa.
Dulu, untuk mengetahui penyebab Perang Diponegoro atau memahami rumus volume kubus, seorang siswa harus duduk…
Peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta pada awal November 2025 lalu bukan sekadar insiden kriminal…
Adalah Asy-Syifa binti Abdillah al-Adawiyah dari suku Quraisy, yang begitu terkenal dengan kepandaian literasinya, ketika…
Mari mulai dari sebuah pertanyaan sederhana namun menyentil: untuk apa sebenarnya sekolah didirikan? Jika jawabannya…
Pendidikan berbasis karakter adalah fondasi penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual,…
Indonesia tidak dibangun oleh tumpukan data biner. Bangsa ini tidak didirikan di atas algoritma yang…