Tokoh

Gus Dur, Natal, dan Isa Al Masih sebagai Nabi Allah

Bagi Gusdurian – pengikut dan pewaris pemikiran Gus Dur – Desember adalah ” Bulan Gus Dur”, bulan di mana Sang Kosmopolit itu mangkat pada 30 Desember 2009. Di bulan ini, selain biasanya diadakan haul untuk memperingati ‘kemangkatan’ Gus Dur itu, berbagai forum kajian untuk mengkaji pemikiran-pemikirannya juga dilakukan, mulai dari pemikirannya tentang demokrasi, NKRI, Islam, dll.

Di sisi yang berbeda, Desember juga merupakan hari penting bagi umat Kristiani. Di mana, pada bulan ini umat Kristiani merayakan Hari Raya Natal, sebuah hari khusus untuk memperingati hari kelahiran Isa al Masih. Mirip dengan hari peringatan Maulid Nabi dalam tradisi Islam yang biasanya dirayakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan hari lahir Nabi Agung Muhammad Saw.

Lalu, apa kaitannya Gus Dur dan Natal? Secara spesifik sebenarnya Gus Dur tidak memiliki keterkaitan khusus dengan Natal yang dirayakan umat Kristiani. Akan tetapi, jika kita berbicara masalah eksistensi Muslim dan Natal, khususnya soal hukum boleh tidaknya Muslim merayakan Natal, maka jelas Gus Dur punya pemikiran dan gagasan yang bisa kita ketengahkan dalam diskursus keislaman kita kini.

Merayakan Natal dalam pandangan Gus Dur

Salah satu persoalan penting setiap hari raya Natal yang sering menyita perhatian adalah bagaimana hukumnya mengucapkan atau merayakan Natal bagi umat Muslim? Sebagian pendapat mengatakan bahwa haram hukumnya bagi umat Muslim untuk turut serta merayakan dan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Bahkan, lebih keras, kelompok ini juga melabeli umat Islam yang mengucapkan atau merayakan Natal sebagai umat yang keluar dari Islam, alias kafir.

Lalu, bagaimana dengan pandangan Gus Dur? Seperti sebagian ulama lainnya, Gus Dur membolehkan umat Muslim mengucapkan atau merayakan Natal. Dalam artikelnya yang berjudul Harlah, Natal, dan Maulid, Gus memandang bahwa sebenarnya memperingati atau merayakan Natal, yang merupakan peringatan atas kelahiran Isa al Masih, hal itu tidaklah mengapa dan tidak sampai menyebabkan umat Muslim keluar dari agama Islam yang diyakininya.

Akan tetapi, Gus Dur punya garis batas yang jelas perihal kebolehan bagi umat Muslim mengucapkan dan merayakan Natal itu. Menurut Gus Dur, umat Muslim boleh mengucapkan dan merayakan Natal itu hanya sebatas untuk memperingati hari kelahiran Isa al Masih sebagai Nabi Allah, tidak lebih. Artinya, peringatan Natal yang dilakukan umat Muslim tidak sampai pada keyakinan bahwa peringatan Natal itu sebagai bentuk kelahiran Tuhan Yesus seperti yang diyakini umat Kristiani.

Artinya, bagi Gus Dur, perayaan atau peringatan Natal yang dilakukan umat Muslim adalah perayaan dalam bentuk dan maksudnya yang berbeda dengan apa yang dirayakan umat Kristiani. Umat Islam yang berkenan merayakan atau mengucapkan Natal terhadap umat Kristiani cukup meyakini bahwa Isa al Masih adalah Nabi Allah, bukan Anak Tuhan yang dilahirkan melalui perawan suci bernama Maryam.

Gus Dur menulis:  ”Bahwa kemudian Nabi Isa “dijadikan” Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu. Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah.”

Gus Dur juga menulis: ” Natal, dalam kitab suci Alquran disebut sebagai “yauma wulida\” (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.”

Jadi, mengikuti argumen dan narasi teologis Gus Dur tersebut, jelas bahwa sebenarnya tidak ada masalah bagi umat Muslim untuk merayakan hari raya Natal. Sepanjang dalam bentuk dan maksud untuk memperingati kelahiran Nabi Allah sebagaimana termaktub dalam Alquran. Selamat Memperingati Bulan Gus Dur. Selamat Natal.

This post was last modified on 22 Desember 2022 4:46 PM

Rusdiyono

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago