Bulan Ramadan lalu, ada konten menarik di kanal YouTube Deddy Corbuzier. Yakni konten bertajuk “LOGIN” yang dipandu oleh dua pesohor di dunia media sosial saat ini; Habib Ja’far dan Onadio Leonardo (Onad). Konten ini pada intinya adalah talkshow dimana Onad sebagai host bertanya tentang keislaman kepada Habib Ja’far.
Dari kemasan luar saja, konten ini menarik. Mempertemukan dua orang yang berbeda latar belakang dalam talkshow yang membahas Islam adalah sebuah langkah jenial. Habib Ja’far seperti kita tahu dikenal sebagai penceramah agama dan content creator yang diidolai kalangan anak muda.
Habib Ja’far dikenal dengan perangainya yang murah senyum. Dakwahnya cerdas tapi lembut. Ia juga dekat dengan para seleb medsos terutama para komika. Sedangkan Onad, dari luar lebih mirip antitesis Habib Ja’far. Ia dululunya dikenal sebagai vokalis band Killing Me Inside, dan sekarang kerap tampil di film selain aktivitas utamanya sebagai Youtuber. Penampilannya eksentrik dengan tato dan tindik.
Konten ini melejit di tengah beragam konten Ramadan di TV maupun di medsos. Hingga episode terakhir, konten itu ditonton lebih dari 80 juta viewers. Demografi penontonnya pun beragam, mulai dari kalangan non-muslim maupun muslim. Dalam sebuah kesempatan, Habib Ja’far mengunggah komentar netizen yang mengaku bahwa dirinya dan suaminya kembali menjalankan ibadah wajib (sholat, puasa, dll) setelah berulang kali menikmati konten LOGIN.
Bagaimana Berdakwah di Tengah Pluralitas Masyarakat
Ada yang mengatakan bahwa konten LOGIN ini sarat nuansa islamisasi. Bagi saya pribadi tidak. Apalagi, sampai episode akhir, Onad yang digadang netizen masuk Islam tetap pada keimanan awalnya. Bahkan, ia mengaku kian mantap memegang keyakinannya setelah berdiskusi banyak dengan Habib Ja’far. Bagi saya pribadi, kontek LOGIN ini justru menjadi contoh bagaimana berdakwah di era digital dan di tengah masyarakat yang plural.
Plural bukan hanya dalam artian perbedaan agama, namun juga tingkat kesalehan agama. Di kalangan muslim saja, pasti ada bermacam golongan. Mulai dari golongan yang taat beragama, kurang taat, dan sama sekali tidak menjalankan ibadah. Harus ada metode dakwah yang tepat untuk bisa merangkul semua kelompok tersebut. Yakni bagaimana agar yang taat beribadah bisa istiqomah, yang kurang taat bisa menjadi lebih taat, dan yang tidak taat bisa bertaubat dan selanjutnya istiqomah di jalan pertaubatannya.
Konten LOGIN secara tidak langsung menyiratkan strategi dan etika dakwah Habib Ja’far di tengah kemajemukan masyarakat terutama di era digital saat ini. Dakwah di tengah masyarakat yang heterogen tentu berbeda dengan dakwah di tengah masyarakat yang homogen. Di tengah masyarakat yang plural, dakwah idealnya disampaikan dengan nada simpatik, lemah lembut, tidak indoktrinatif apalagi justifikatif, dan adaptif serta akomodatif pada ragam karakter maupun budaya yang ada di masyarakat.
Dakwah Habib Ja’far; Antara Islamisasi dan Moderasi
Metode itu pula yang tampak dalam konten LOGIN. Alih-alih memakai format ceramah tunggal satu arah, konten LOGIN memilih format talkshow interaktif dengan menampilkan dua sosok yang bertolak belakang. Habib Ja’far merepresentasikan golongan muslim dan Onad merepresentasikan kelompok non-muslim yang penasaran dengan ajaran Islam.
Pertanyaan-pertanyaan Onad seolah mewakili rasa penasaran kelompok non-muslim tentang ajaran Islam. Misalnya, pertanyaan tentang apakah umat Islam menyembah ka’bah? Pertanyaan itu sekaligus menjadi momentum mengklarifikasi kesalahpahaman kaum non-muslim terhadap ajaran Islam. Menariknya saban kali menjawab, tidak ada kesan Habib Ja’far tengah menghakimi keimanan dan gaya hidup Onad yang jelas berbeda dengan prinsip Islam.
Dari konten LOGIN ini kita belajar bahwa inti berdakwah di tengah kemajemukan tidak hanya berorientasi pada mengislamkan golongan lain. Tujuan utama dakwah Islam barangkali adalah menarik sebanyak mungkin orang untuk memeluk Islam. Namun, jika misi utama itu belum tercapai, maka ada misi yang tidak kalah pentingnya, yaitu menumbuhkan sikap saling menghormati (mutual respect) dan saling memahami (mutual understanding) antarkelompok yang berbeda.
Sikap saling menghormati dan memahami merupakan pilar penting moderasi beragama. Di dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, moderasi beragama merupakan prasyarat mutlak terciptanya harmoni sosial-kebangsaan. Model keberagamaan yang berlebihan (ekstrem) seperti mengkafirkan kelompok lain cenderung berbahaya bagi persatuan bangsa.
Arkian, metode dakwah simpati ala Habib Ja’far ini kiranya menjadi inspirasi bagi para da’i lainnya. Mensyiarkan Islam itu tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi adalah bagaimana menyebarkan pesan keislaman di tengah masyarakat plural, namun tanpa menimbulkan gejolak terlebih gesekan sosial.
This post was last modified on 23 Mei 2023 7:24 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…