Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan dengan hoaks dan disinformasi berbasis teks atau gambar sederhana, kini ancaman yang lebih canggih hadir dalam bentuk deepfake. Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang mampu memanipulasi wajah, suara, dan gerak tubuh ini tidak hanya menimbulkan persoalan etis, tetapi juga berpotensi merusak fondasi kepercayaan sosial dan demokrasi.
Deepfake bukan sekadar rekayasa visual, tetapi ancaman serius bagi tatanan sosial. Data riset menunjukkan bahwa penggunaan deepfake melonjak tajam: lembaga VIDA mencatat peningkatan penipuan berbasis AI di Indonesia sebesar 1.550% antara 2022 dan 2023.
Bayangkan jika sebuah video beredar, memperlihatkan seorang tokoh publik atau pemimpin agama sedang mengucapkan pernyataan provokatif, padahal itu sepenuhnya palsu. Bagi pengikut atau pengagumnya, video tersebut bisa menjadi pemicu tindakan nyata, dari ujaran kebencian hingga tindak kekerasan. Dalam konteks radikalisasi, teknologi ini bisa menjadi senjata ampuh bagi kelompok ekstremis untuk merekrut, menghasut, dan memperkuat narasi mereka.
Yang lebih mengkhawatirkan, kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat memiliki risiko paling tinggi untuk terpapar dampak buruk deepfake. Generasi lansia misalnya, yang aktif menggunakan platform seperti WhatsApp, sering kali memiliki literasi digital terbatas. Mereka lebih mudah terkecoh oleh konten yang tampak meyakinkan, apalagi jika konten tersebut dibalut dengan sentimen emosional atau keagamaan.
Di sisi lain, anak-anak dan remaja yang begitu akrab dengan media visual di TikTok atau Instagram juga belum memiliki kemampuan kritis yang matang. Konten manipulatif dalam bentuk video lebih mudah membekas di memori mereka dibanding teks, sehingga potensi untuk mempercayai dan menyebarkannya semakin besar.
Tidak kalah penting adalah kelompok masyarakat dengan bias ideologis kuat. Mereka cenderung menyeleksi informasi berdasarkan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (confirmation bias). Dalam kasus ini, deepfake berfungsi sebagai “bukti visual” yang memperkuat keyakinan, meskipun palsu. Bagi mereka, sebuah video yang sejalan dengan pandangan ideologis akan lebih mudah dipercaya ketimbang klarifikasi resmi atau fakta dari sumber kredibel.
Media sosial memperparah keadaan ini. Algoritma yang bekerja di balik layar dirancang untuk memaksimalkan interaksi pengguna, baik dalam bentuk like, komentar, maupun share. Secara tidak langsung, algoritma justru menjadi pengeras suara (amplifier) bagi konten sensasional dan emosional.
Konten deepfake yang provokatif dan mengejutkan akan lebih cepat viral, menjangkau jutaan orang hanya dalam hitungan jam. Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi ruang interaksi, tetapi juga arena perebutan makna di mana kebenaran sering kali terkalahkan oleh sensasi.
Menghadapi bahaya ini, sekadar mengandalkan teknologi deteksi tidaklah cukup. Upaya deteksi deepfake memang penting, tetapi tidak mampu mengimbangi kecepatan penyebaran konten di dunia digital. Yang lebih urgen adalah membangun ketahanan digital (digital resilience). Ketahanan ini harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari individu, keluarga, komunitas, hingga negara.
Pada level individu, literasi digital perlu ditanamkan sejak dini. Anak-anak dan remaja harus dibekali dengan keterampilan kritis untuk memverifikasi informasi, bukan hanya mengonsumsinya secara pasif. Pada level komunitas, keluarga dan masyarakat perlu lebih aktif dalam melakukan diskusi terbuka mengenai konten digital, agar tidak ada ruang bagi kecurigaan atau prasangka yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Sedangkan pada level negara, regulasi dan kolaborasi dengan platform digital mutlak diperlukan untuk menekan penyebaran konten deepfake yang berbahaya.
Lebih jauh, kesadaran kolektif masyarakat juga perlu dibangun bahwa menjaga kedaulatan informasi adalah bagian dari menjaga kedaulatan bangsa. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk tidak sembarangan membagikan konten yang belum jelas kebenarannya. Deepfake hanyalah alat; dampaknya ditentukan oleh bagaimana kita meresponsnya. Jika masyarakat mampu menumbuhkan sikap kritis dan bijak, ancaman deepfake bisa diminimalisir.
Deepfake adalah cermin dari paradoks peradaban digital kita. Ia bisa menjadi inovasi bermanfaat, sekaligus alat perusak. Dalam konteks radikalisasi, bahayanya terletak pada daya rusaknya terhadap kepercayaan sosial dan kohesi bangsa.
Di tengah derasnya arus informasi, membangun ketahanan digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Sebab, hanya dengan kedaulatan pengguna dan kesadaran kolektif, kita bisa menghadapi krisis kebenaran ini tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…
Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…
Pemerintah tengah menyusun Peta Jalan dan Pedoman AI. Rencananya pemerintah akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang…
Di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, kita dihadapkan pada tantangan baru yang semakin kompleks…
Kecerdasan buatan, artificial intelligent atau akal imitasi, memang sudah diperbincangkan sejak lama. Bahkan sebelum memasuki milenium kedua.…