Narasi

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang nisbi kuat. Terorisme berlatar agama yang menjadi bahaya laten global selama lebih dari dua dekade belakangan ini terbukti  menunjukkan kemampuan bermetamorfosis. Di awal kemunculannya, gerakan terorisme cenderung menggunakan metode konvensional dalam melakukan rekrutmen, indoktrinasi, pendanaan, komunikasi, sekaligus aksi terornya.

Belakangan, metode konvensional itu mulai mengalami pergeseran menyusul kian canggihnya perkembangan teknologi komunikasi digital. Disrupsi digital secara langsung berdampak pada perubahan pola rekrutmen, indoktrinasi, komunikasi, pendanaan, dan aksi kekerasan yang dilakukan kaum teroris.

Adaptasi teknologi digital, internet, bahkan kecerdasan buatan alias artificial intellegence (AI) pun menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Fenomena ini lantas melahirkan apa yang disebut sebagai terorisme siber (cyber terrorism). Istilah ini dipakai untuk menyebut gerakan terorisme di ruang maya dengan menggunakan piranti digital, seperti jaringan internet, media sosial, sekaligus AI.

Terorisme siber memiliki cakupan yang sangat luas. Mulai dari praktik indoktrinasi dan rekrutmen anggota melalui media sosial, serangan peretasan siber ke situs-situs viral milik pemerintah maupun swasta, komunikasi antar sel teroris melalui kanal media sosial, transaksi jual-beli senjata di dunia maya, sampai adaptasi AI untuk membuat konten propaganda ekstremisme.

Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University pada tahun 2019 menunjukkan fakta bahwa kelompok teroris seperti ISIS mulai memindahkan arena pergerakannya ke ruang siber. Kekalahan beruntun ISIS di Suriah dan Irak yang membuat mereka kehilangan wilayah kekuasaan bahkan kehilangan pemimpin, Abu Bakar Al Baghdadi memaksa mereka memindahkan pusat gerakannya di ruang-ruang siber.

Pasca kekalahan ISIS pada tahun 2019, sel-sel jaringan teroris ini aktif memproduksi ribuan kanal media sosial dan situs internet sebagai media penyebaran propaganda kekerasan dan teror ke seluruh dunia.

Telegram menjadi media sosial paling populer dan favorit di kalangan simpatisan ISIS. Pengawasan yang cenderung longgar di Telegram membuat mereka bebas menyebar propaganda ekstremisme dan membina calon sel-sel teroris baru. Penelitian oleh Harvard University ini juga menemukan fakta mengejutkan bahwa jaringan teroris, terutama ISIS banyak menyusup ke darkweb, untuk melakukan komunikasi, pendanaan, dan jual-beli senjata untuk mendukung aksi teror dan kekerasan mereka.

Darkweb adalah jaringan internet yang paling dalam dan tersembunyi sehingga tidak dapat dilacak dengan mesin pencari informasi standar seperti google. Darkweb biasnya hanya bisa diakses oleh mesin kerambah khusu, seperti Tor Web dan sebagainya. Darkweb umum digunakan untuk aktivitas ilegal seperti perdagangan manusia, transaksi narkoba, bisnis keuangan gelap, sampai kegiatan terorisme.

ISIS menggunakan darkweb untuk menyebarkan konten panduan melakukan aksi teror di tempat umum atau fasilitas milik pemerintah dengan perencanaan yang amatir dan penggunaan alat atau senjata yang sederhana. Konten panduan aksi teror yang beredar di darkweb inilah yang kerap menginspirasi munculnya fenomena aksi teror tunggal (lone-wolf terrorism).

Belakangan, ISIS bergerak lebih jauh dengan mengadaptasi teknologi AI, terutama deepfake ke dalam materi propaganda mereka. Pada akhir Maret, 2024 beberapa hari pasca serangan ISIS ke gedung teater di Rusia, mereka meluncurkan program digital bertajuk News Harvest. Program itu disebar di kanal media sosial dan situs yang berafiliasi dengan ISIS. News Harvest berisi video berita yang dibawakan oleh sosok jurnalis yang berpenampilan kredibel dan meyakinkan.  Padahal, jurnalis itu tidak lain adalah sosok buatan AI.

News Harvest adalah bukti tidak terbantahkan bahwa teknologi AI yang dibajak kaum ekstremis bisa sangat membahayakan keamanan manusia. Adaptasi deepfake oleh ISIS juga menandai adanya transformasi gerakan terorisme di ruang siber. Kini, mereka tidak hanya menggunakan media sosial dan jaringan internet tersembunyi (darkweb), namun mulai merambah ke teknologi kecerdasan buatan.

Fenomama ini harus diwaspadai bersama. Mau tidak mau, gerakan kontra ekstrmisme pun harus bertransformasi. Cara-cara konvensional dalam membendung terorisme kiranya tidak lagi relevan dengan tantangan yang kian kompleks. Kita membutuhkan strategi baru yang adaptif pada metamorfosis gerakan terorisme di ruang siber tersebut.

Dari sisi regulasi, kita membutuhkan aturan yang jelas terkait penggunaan AI di ruang digital. Jangan sampai, euforia AI ini menjadi momentum kebangkitan gerakan radikal teroris di ruang siber. Pemerintah bekerjasama dengan stakeholder terkait perlu menyusun peta jalan penggunaan AI yang aman, terutama dari aktivitas radikalisme dan terorisme.

Di saat yang sama, kita juga harus terus mengedukasi publik agar mampu mengidentifikasi konten olahan AI sekaligus menjelaskan bahaya AI di tangan teroris. Publik harus memiliki kesadaran sekaligus kewaspadaan terkiat adaptasi AI oleh kaum ekstremis. Jangan sampai, euforia AI ini menjadi celah baru bagi kaum radikal untuk mendoktrin dan merekrut simpatisan baru.

Nurrochman

Recent Posts

Perempuan Merdeka : Agensi dan Resiliensi dalam Pusaran Terorisme – Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 6 Agustus 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

4 jam ago

Urgensi Peta Jalan dan Pedoman AI di Tengah Maraknya Terorisme Digital

Pemerintah tengah menyusun Peta Jalan dan Pedoman AI. Rencananya pemerintah akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang…

21 jam ago

Deepfake dan Krisis Kebenaran : Strategi Menjaga Kewarasan di Abad AI

Di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, kita dihadapkan pada tantangan baru yang semakin kompleks…

24 jam ago

Mengukur Keabsahan Otoritas Agama dalam Skena Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan, artificial intelligent atau akal imitasi, memang sudah diperbincangkan sejak lama. Bahkan sebelum memasuki milenium kedua.…

24 jam ago

Radikalisme di Abad AI; Bagaimana Deepfake Berpotensi Mengubah Wajah Terorisme Global?

Empat hari pasca penyerangan ISIS ke gedung konser di Rusia pada Maret 2024 lalu, kelompok…

2 hari ago

Akal Imitasi (AI) : antara Kawan dan Lawan?

Teknologi, dalam sanad panjang sejarah peradaban, adalah cerminan dari akal budi manusia. Ia bisa menjadi…

2 hari ago