Narasi

Hukum Negara adalah Representasi Hukum Tuhan yang Harus ditaati!

Di negeri ini, ada segelintir orang yang sering-kali merasa dirinya paling autentik di dalam beragama. Dengan pedenya berfatwa bahwa “Hukum Tuhan jauh lebih tinggi dari pada hukum negara”. Sehingga, dirinya merasa tidak perlu mengikuti semua aturan negara yang berlaku. Lalu, dengan santainya berbuat onar, tindakan yang semena-mena, merusak, serta mengabaikan semua aturan dan mekanisme hukum yang berlaku di negeri ini.

Tanpa menyadari bahwa dirinya sebetulnya telah “mengerdilkan hukum Tuhan” yang paripurna. Membangkang hukum Tuhan yang meniscayakan pentingnya “Berbuat baik dan jangan merusak”. Maka, berawal dari dinamika yang semacam inilah kita harus menjernihkan pemahaman. Agar, kita tidak tergerus ke dalam lingkup kesadaran yang “pincang” di dalam melihat substansi dan peranan hukum Tuhan yang sebenarnya.

Karena hukum negara adalah representasi dari hukum Tuhan yang sejatinya perlu kita patuhi. Negara membangun semacam regulasi, pembentukan nilai manusia dan aturan etis di dalam ber-sosial itu mutlak meniscayakan hukum Tuhan sebagai (sumber dalil) di dalamnya. Karena hukum negara selalu mengacu kepada kepentingan banyak orang. Melindungi keselamatan banyak orang. Mengadili orang yang berbuat kerusakan. Serta menjaga segala yang berkaitan dengan kemaslahatan semua umat manusia.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kelompok yang sering berteriak bahwa hukum Tuhan lebih tinggi dari pada hukum negara. Mereka melakukan sesuatu yang dilarang dalam hukum Tuhan sendiri. Seperti berbuat kerusakan, penuh kebencian, doyan konflik dan selalu main hakim sendiri. Bagaimana negara yang jelas dan mutlak membentuk hukum selalu mengacu kepada hal-hal yang sifatnya kebaikan dan melarang hal-hal yang sifatnya keburukan tadi. Bukankah porsi hukum Tuhan selalu mengacu kepada maslahat, bukan mudharat?

Di sinilah kita harus pahami. Bahwa hukum Tuhan yang mereka maksud itu, sejatinya hanya apa yang mereka yakini, jalani, geluti, tekuni dan pahami. Misalnya: seperti ketika ada aturan untuk tidak berkerumun di tengah pandemi agar tidak terjadi penularan virus. Mereka menolaknya dan tetap melakukan kegiatan berkerumun. Lalu berdalih bahwa “Hukum Tuhan jauh lebih tinggi dari pada hukum negara” lalu menyuruh masyarakat agar tetap  berkerumun.

Artinya, hukum Tuhan yang dimaksud oleh mereka yang begitu tinggi itu sejatinya hanya “meniscayakan kulit” dari serpihan beragama yang mereka inginkan saja. Berdasarkan kepentingan dan mood beragama saja. Bukan membangun substansi “penggalian hukum” yang lebih mendalam tentang hukum Tuhan yang jelas-jelas selalu mengerucut kepada maslahat. Layaknya aturan atau hukum negara agar tidak berkerumun di tengah pandemi. Agar menciptakan maslahat bagi banyak orang dengan upaya memperkecil potensi penularan virus.

Karena dinamika di atas, saya kira bukan terletak pada “perbandingan nilai” antara hukum Tuhan dengan hukum negara yang dimaksud sebagai produk manusia yang perlu kita yakini. Karena antara hukum Tuhan dengan hukum negara itu pada hakikatnya bukan sesuatu yang berbeda. Apalagi menjadikan jalan perbandingan nilai seseorang untuk memilih. Apakah berpihak kepada hukum Tuhan atau berpihak kepada hukum negara yang dimaksud sebagai “produk manusia” tersebut.

Karena, senyatanya dinamika yang semacam ini lebih spesifik bersifat politis. Saya sering-kali menyebut sebagai “politik teologis”. Di mana, orang lebih mudah untuk menjadikan kebenaran-Nya sebagai senjata untuk meretakkan hukum yang berjalan di negeri ini. Berupaya untuk “mendikte” kesadaran seseorang. Agar meyakini bahwa hukum negara dan hukum Tuhan merupakan sesuatu yang berbeda.            

Karena saya percaya, bahwa apa yang mereka teriakkan sebagai “Hukum Tuhan” sebetulnya bukan sesuatu yang ideal sebagai jalan etis yang berpihak di dalam menegakkan maslahah kepada banyak orang. Tetapi mengacu kepada kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dengan menawarkan hukum Tuhan yang dimaksud berdasarkan tafsirnya sendiri yang sifatnya politis. Karena hukum Tuhan yang mereka tinggikan bukan mengacu kepada kesadaran untuk berdamai, berbuat kebaikan, menghentikan segala permusuhan, kebencian dan meninggalkan semua keburukan. Tetapi justru sebaliknya dari apa yang Tuhan sebetulnya sangat benci. Yaitu berbuat kerusakan di muka bumi.

This post was last modified on 22 Maret 2021 11:52 AM

Saiful Bahri

Recent Posts

Lone Wolf Terorism : Bukti Kerentanan Gen Z yang Harus Diantisipasi Sejak Dini

Fenomena terorisme tidak lagi selalu berbentuk jaringan besar yang terorganisir dengan rapi. Dalam beberapa tahun…

6 jam ago

Gen Z dan Kejawen

Sapantoek wahyoening Allah Gya doemilah mangoelah ngelmoe bangkit Bangkit mikat reh mangoekoet Koekoetaning jiwangga Jen…

6 jam ago

Memadamkan Kebisingan dengan Moderasi : Transformasi Dakwah Moderasi Gen Z

Gen Z punya beban sejarah yang unik. Mereka mewarisi Indonesia, sebuah proyek peradaban yang dibangun…

9 jam ago

Rebranding Pancasila 5.0: Memviralkan Kebangsaan Gen Z di Era Digital

Mari kita bayangkan Indonesia bukan dilihat dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Tetapi, bayangkan…

1 hari ago

Dakwah Nge-Pop ala Influencer HTI; Ancaman Soft-Radicalism yang Menyasar Gen Z

Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik…

1 hari ago

Performative Male: Ruang Gelap Radikalisasi yang Menggurita di Era Gen Z

Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…

1 hari ago