Narasi

Idul Fitri: Pesan Persuadaraan dan Momentum Kemenangan Melawan Tindakan Intoleran

Indahnya perayaan Idul Fitri tidak hanya sekedar pada ritual silaturrahmi ke sanak-saudara. Tetapi, juga menyimpang banyak hikmah lainnya. Salah satunya adalah mengokohkan persaudaraan dalam lingkup kebangsaan. Persaudaraan tidak akan kokoh manakala negeri ini masih diliputi intoleransi. Karena itu, Idul Fitri sesungguhnya memuat nilai toleransi dan mengutuk tindakan intoleransi.

Sesungguhnya, sikap toleran harus senantiasa ada dan hadir dalam diri seluruh bangsa ini dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus menunggu momentum Idul Ftri. Momentum Idul Fitri hanyalah momentum untuk memperkuat dan merawat sikap yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa ini. Mereka-lah telah memberikan teladan bagaimana toleransi di tengah komposisi masyarakat yang majemuk seperti Indonesia menjadi pra-syarat akan eksistensi bangsa ini. Hal ini menunjukkan betapa toleransi harus dirawat dan diperkuat sepanjang masa sebagai pra-syarat terwujudnya Indonesia yang damai, adil, dan makmur.

Intoleransi dan rasisme adalah ancaman nyata bagi NKRI dan berpotensi besar menimbulkan ekstrimisme. Komposisi Indonesia yang beragam adalah sebuah keniscayaan—merupakan karunia Tuhan—yang tidak bisa diingkari oleh siapapun itu. Ini sekaligus sebagai bukti bahwa realitas sosial menjadi mungkin karena ia mengakomodasi perbedaan dan keragamaan diantara manusia (Casram, 2016). Oleh karena itu, menolaknya adalah sebuah langkah yang konyol, jika tak ingin dikatakan bodoh. Mengakui keberagaman dan menganggap keberagaman sebagai kekuatan adalah sikap yang tidak hanya cerdas, melainkan juga, dalam konteks kenegaraan—mencerminkan sebagai warga negara yang baik.

Menghadirkan Sikap Toleran

Kita patut bergembira punya tokoh-tokoh bangsa dan ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah serta ormas moderat lain, yang memiliki komitmen kebangsaan yang luar biasa. Selain bertekad bulat menjaga persatuan dan persaudaraan lintas agama, suku, golongan dan lainnya, tokoh-tokoh ini tak henti-hentinya mengajak seluruh anak bangsa untuk benar-benar merawat dan memperkuat toleransi demi langgengnya integrasi nasional.

“Siapa yang hidup berdampingan secara damai dan saling bekerjasama dalam kebaikan, mereka-lah pemenang (sejati). Inilah ungkapan yang harus menjadi pegangan bagi rakyat Indonesia dalam mengarungi kehidupan ini. Ungkapan tentang pentingnya toleransi sangat banyak sekali, bahkan Alquran sendiri juga mengajarkan demikian. Buku-buku yang membahas toleransi dan perspektif Islam bak jamur di musim hujan. Sebut saja buku “Alquran Kitab Toleransi” Karya Zuhairi Misrawi.

Walisongo dapat meng-Islamkan penduduk Jawa tanpa harus merusak dan mengejek kebudayaan sebelumnya, sekalipun budaya itu bertentangan dengan ajaran Islam. Penulis sertakan satu contoh ajaran toleransi yang dipraktikkan oleh Sunan Kudus pada waktu itu. Bahwa sejauh ini, orang Kudus tidak pernah berani menyembelih sapi di wilayah teritorial Kudus, mereka lebih memilih menyembelih kambing (selain Sapi), sekalipun di hari raya Idul Adha. Tradisi ini muncul dari Sunan Kudus.

Hal tersebut ditempuh oleh Sunan Kudus lantaran pada masa itu mayoritas penduduk Kudus merupakan penganut Hindu, yang mana mereka meyakini sapi adalah hewan yang disucikan para dewa. Fatwa tersebut dikeluarkan nggak lain adalah untuk menghargai kepercayaan umat hindu.

Bangunan tempat ibadah inter-agama seperti Sham Poo Kong di Semarang, Klenteng di Lasem Jawa Tengah dan masih banyak simbol-simbol toleransi lainnya membuktikan betapa negeri ini sudah sejak awal benar-benar dibangun atas dasar keberagaman dan toleransi menjadi kata kunci. Sebagai penguat, Anda bisa datang ke Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya. Merupakan salah satu rumah ibadah unik yang memadukan arsitektur khas Jawa, Tiongkok dan Arab.

Pesan Persaudaraan

Persaudaraan menjadi asas pertama yang dibangun Rasulullah kala itu sebelum Madinah maju dan memiliki peradaban tinggi pada kala itu. Apa yang ditempuh Nabi bukanlah sesuatu yang kebetulan, melainkan berdasarkan tuntunan agama. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda: “Salah seorang diantara kamu tidak dapat dikatakan beriman sempurna sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu juga momentum Idul Fitri, sangat relevan dengan semangat memperkokoh persaudaraan. Hal ini setidaknya tercermin dalam dua pesan Idul Fitri; pertama, momentum berinteraksi dan berkoneksi dengan banyak orang.

Interaksi dan berkoneksi atau istilah populernya silaturrahmi menjadi salah satu ciri khas dari perayaan Idul Fitri. Hal ini tentu saja berdampak pada rekatnya persaudaraan. Lebih-lebih silaturrahmi itu dibarengi dengan tradisi saling memaafkan. Mudik yang dilarang pada tahun ini tidak lantas menjadi penyebab terjalinnya silaturrahmi. Dunia digital mampu menjembataninya.

Memang, lebaran tahun ini akan sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelum Covid-19 melanda. Namun demikian, perbedaan dan kesabaran kita akan membantu bangsa ini ‘sehat’ dengan segara. Oleh karena itu, pesan persaudaraan dalam Idul Fitri, pada tahun ini harus dilakukan secara bijak; tidak memaksakan untuk mudik lebaran ke kampung halaman, tetapi manfaatkanlah teknologi.

Kedua, mengembalikan manusia pada fitrahnya. Idul Fitri adalah kemenangan bagi umat Islam setelah sebulan penuh berjuang (jihad akbar) menahan/melawan hawa nafsu. Sifat angkuh, intoleran dan sifat atau perilaku negatif lainnya akan sirna untuk kemudian menjadi pribadi yang fitrah, suci, bersih dari dosa.

Namun, ada yang lebih penting dari sekedar meraih kemenangan. Ya, mempertahankan kemenangan tentu yang jauh lebih utama. Dengan demikian, jiwa yang bersih ini harus terus dijaga sampai bulan-bulan selanjutnya. Termasuk sikap toleran yang menjadi dasar persaudaraan, harus tetap dijaga.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukmin dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukanlah bagian dari golonganku.”(HR Muslim).

Idul Fitri selalu memiliki arti yang penting tidak hanya untuk umat Islam, namun juga seluruh penduduk bumi ini tanpa terkecuali rakyat Indonesia. Oleh karena itu, momentum Idul Fitri ini harus dirayakan dengan menimbang dimensi yang lebih luas. Mengokohkan persaudaraan dan mengikis tindakan intoleran adalah pesan Idul Fitri yang mendalam dan harus dijalankan oleh segenap umat Islam. Jika persaudaraan kokoh, maka Idul Fitri akan terasi lebih berarti.

This post was last modified on 10 Mei 2021 2:35 PM

Fauziyah S

Aktif bergerak di bidang sosial dan isu-isu perempuan serta perdamaian, tinggal di Semarang, Jawa Tengah.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago