Narasi

Intoleransi Menjelang Natal dan Ketakutan Iman yang Tertukar

Seperti sudah menjadi ritual di akhir tahun, warga di Indonesia sepertinya punya kesibukan baru dengan agenda diskusi yang diwarnai dengan pro dan kontra. Diskusi yang dibahas pastilah tidak jauh dari boleh tidaknya umat Islam mengucapkan “selamat natal” untuk mereka yang merayakannya. Pro kontra seputar ini seolah menjadi bagian rutinitas menutup akhir tahun.

Sungguh melelahkan dan menggelisahkan. Bangsa yang besar dengan keragaman ini masih belum tuntas tentang persoalan pemaknaan kebangsaan secara baik. Namun, tentu saja ini hanya persoalan baru yang tidak ditemukan sebelumnya. Meningkatnya konservatisme belakangan ini menjadi salah satu momok yang mengkristalkan problem ini.

Dahulu rasanya tidak ada persoalan di tengah masyarakat untuk mengucapkan Selamat Natal. Rasanya sudah biasa antara umat yang berbeda saling berbagi dan menjaga hingga ke kampung-kampung. Namun, arus baru sejak reformasi justru semakin membelah masyarakat dengan persoalan problem identitas.

Bulan Desember adalah bulan yang akan ramai perdebatan orang mau mengucapkan Selamat Natal atau tidak. Tampaknya persoalan klasik ini tidak berkesudahan. Ada postingan dan upload ceramah lama dari berbagai ustadz menghiasi media sosial.

Persoalannya sederhana masalah ini telah menjadi wilayah ijtihad para ulama. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarang. Tidak usah diambil pusing. Kembali pada diri sendiri dengan alasan hukum yang ada.

Jika merasa tidak mempunyai saudara dan teman dari umat Kristiani, tidak usahlah ambil pusing dengan berdebat hukum Selamat Natal. Atau jika anda bukan pejabat dan pemimpin yang mempunyai anak buah yang berbeda agama, untuk apa pula anda mengucapkan. Dan harus mengucapkan ke siapa?

Jika ada keluarga yang berbeda agama sangat wajar mereka saling mengucapkan dan membangun harmoni yang indah. Mereka tidak tergoda iman masing-masing tetapi justru saling menghargai. Pemimpin yang mengucapkan juga tidak langsung berubah kafir karena alasan tasybuh atau karena seolah membenarkan akidah orang lain. Jika memahami mengucapkan Selamat Natal untuk berbuat kebaikan dan saling menghormati juga tidak ada masalahnya.

Tetapi kan toleransi bukan harus berlebihan? Mengucapkan selamat untuk mereka yang sedang merayakan kebahagiaan apa termasuk berlebihan? Mengucapkan selamat berarti menghargai keberadaan mereka yang berbeda. Bukan hal berlebihan jika memberikan selamat kepada mereka sedang berbahagia. Yang berlebihan jika anda mengikuti ibadah mereka atas nama toleransi.

Di sinilah cukup tegas dalam persoalan ibadah dan ketuhanan lakum dinukum waliyadin. Ayat ini mempertegas penolakan jika ada ajakan tukar menukar iman dan peribadatan. Kita sesekali menjadi Kristen dan teman kita sesekali menjadi muslim. Jelas perilaku ini bukan toleran tetapi sudah murtad.   

Sedangkan persoalan mengucapkan Selamat Natal tidak ada hubungannya dengan kita membenarkan ibadah orang lain. Jika anda mengingat saudaramu yang berbeda agama untuk beribadah apakah kita berarti mengikuti ibadah mereka?

Teman kita yang Kristiani sering mengucapkan selamat Idul Fitri bahkan mengucapkan salam saja sudah seperti umat Islam : assalamualaikum. Rasanya kita juga senang mendengarnya dan kita tidak merasa mereka sudah menjadi muslim secara akidah.

Hanya kita saja yang mungkin agak lemah imannya dengan mengucapkan berarti seolah tergiur iman menjadi Kristen? Padahal mengucapkan selamat adalah bentuk saling menghargai dan saling memberi kesenangan. Itu bentuk tindakan yang baik bukan sedang menukar iman.

Dalam Al-Quran juga sungguh jelas “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah; 8)

Jika anda merasa mengucapkan dapat merekatkan hubungan saudara, teman dan relasi di tempat kerja yang lebih harmonis kenapa tidak dilakukan? Boleh saja mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita umat nasrani untuk sekedar ucapan selamat karena kegembiraan mereka. Seperti halnya, memberikan ucapan “selamat makan”, “selamat berlibur” dan ucapan selamat lainnya  yang mencerminkan kegembiraan yang sedang mereka rasakan, bukan ucapan yang mengaminkan bahkan membenarkan keyakinan mereka.

Jangan gadaikan iman dan akidah atas nama toleransi dengan cara mengikuti keyakinan dan ibadah mereka. Namun, jangan kerdilkan akidahmu dengan tidak mau berbuat baik dan menghormati yang berbeda sebagai sunnatullah.

Menggadaikan iman biar dikatakan toleran dengan cara mengikuti ibadah mereka juga sangat dilarang. Namun, menjauhi pergaulan yang baik dan saling menghormati kepada yang berbeda dengan alasan akidah juga bukan perilaku sunnah. Imanmu tidak akan tertukar dengan sekedar mengucapkan selamat natal.

This post was last modified on 6 Desember 2022 1:59 PM

Septi Lutfiana

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago