Categories: Kebangsaan

Islam Nusantara: Agar Tidak Salah sangka (2)

Islam Nusantara dengan makna inilah (tarkib washfy) yang sering digunakan oleh mereka yang tidak suka dan anti dengan gagasan ini untuk menyerang dan mengkritiknya. Islam jenis ini dianggap Islam baru, berbeda dengan Islam genuine yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Islam ini dianggap bid’ah, mengada-ada dan merupakan “agama baru”. Mereka beranggapan Islam ini menafikan Islam asli.

Lalu muncul pemahaman bahwa Islam ‘varian baru’ ini nanti akan melaksanakan ibadah dengan cara baru, tidak seperti yang dicontohkan Nabi. Seperti membaca alquran dengan langgam Jawa atau Bugis atau Batak. Sholat dengan Bahasa Jawa atau Madura, kalender yang digunakan adalah kalender Jawa atau Aboge dan seterusnya. Karenanya Islam Nusantara sering dianggap sesat dan melenceng.

Berbeda dengan tarkib washfy dan tarkib idlafy yang merupakan pola frasa yang terdiri dari dua kata yang dua-duanya adalah kata benda. Dalam pola Bahasa Indonesia, kata pertama adalah inti frasa dan kata kedua adalah penjelas frasa, sama seperti dalam Bahasa Arab. Contoh pola ini adalah “rumah kayu”, “aula sekolah”, “asrama putri”, dll. Dalam kaidah gramatika Bahasa Arab, tarkib idlafy ini setidaknya punya kandungan tiga makna, pertama makna “lam” yang bermakna milik atau untuk. Kedua, makna “min” yang berarti “dari/asal” dan yang ketiga bermakna “fi” yang bermakna “di”.

Jika Islam Nusantara dianggap tarkib idlafy, maka Islam Nusantara bisa mengandung makna “lam” yang secara bahasa bisa bermakna “Islam untuk Nusantara”, “Islam bagi Nusantara” atau “Islam milik Nusantara”. Ini artinya istilah Islam Nusantara merujuk pada makna Islam yang dimiliki oleh orang orang yang tinggal dan hidup di Nusantara. Bisa juga bermakna ijtihad Islam yang diperuntukkan bagi orang atau penduduk nusantara. Makna ini mengandung pengertian sedikit eksklusif karena Islam Nusantara hanya dimiliki dan diperuntukkan bagi orang-orang Nusantara.

Sementara Islam Nusantara yang mengandung makna “fi”, maka bermakna Islam yang ada di Nusantara”. Berdasar makna ini, maka Islam Nusantara berarti mengandung pengertian geografis daerah tertentu, yakni Nusantara. Bisa juga bermakna kuantitas atau jumlah. Maka Islam Nusantara adalah Islam yang tumbuh subur dan berkembang dengan jumlah tertentu di kawasan Nusantara.

Sedangkan Islam Nusantara yang mengandung makna “min” berarti “Islam dari Nusantara” atau “Islam yang berasal dari (kawasan) Nusantara”. Makna ini merujuk pada output dan outcome. Artinya, Islam Nusantara adalah Islam yang dihasilkan dari dialog Islam sebagai agama dengan kondisi lingkungan iklim, budaya adat dan kebiasaan Nusantara. Hasil dialog ini mewujud pada ijtihad dan ekspresi agama Islam-bukan agama Islamya seperti yang difahami oleh beberapa orang- yang indeginous dan berciri khas Nusantara.

Ekspresi keberagamaan ini mungkin berbeda dengan ekspresi Islam di berbagai kawasan di belahan bumi lain. Ekspresi keberagamaan tentu saja tidak mencakup akidah, tetapi hanya terbatas pada fiqhiyyah khilafiyyah dan mu’amalah. Maka kita bisa jumpai ekspresi Islam Nusantara berbeda dengan Islam di Timur Tengah, bahkan berbeda dengan madzhab atau referensi fiqih yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Nusantara.

Maka semestinya tidak ada yang perlu dikawatirkan dengan Islam Nusantara jika kita mau jujur dan objektif melihatnya.

Wallahu a’lam

This post was last modified on 6 Juli 2015 12:49 AM

Muhammad Arwani.MA

Wakil Katib Suryah NU Kab. Purworejo

View Comments

  • Pemaknaan secara serampangan mencerminkan keilmuannya, terimakasih penjelasannya @kangMuhammad Arwani.MA

Recent Posts

Adab dan Fitrah Santri Menghadapi Era Digital

Pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, Indonesia merayakan Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap…

12 jam ago

AI yang Mengubah Segalanya dan Bagaimana Santri Menyikapinya?

Dalam arus deras perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan…

12 jam ago

Santri Menatap Panggung Global

Santri sering dipersepsikan secara simplistik hanya sebagai penjaga tradisi, tekun mengaji di pesantren, dan hidup…

12 jam ago

Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

Di era ketika jari-jemari menggantikan langkah kaki, dan gawai kecil mampu menggerakkan opini dunia, ruang…

1 hari ago

Sejak Kapan Jihad Santri Harus Mem-formalisasi “Hukum Tuhan”?

  Narasi "jihad adalah menegakkan hukum Allah" sambil membenarkan kekerasan adalah sebuah distorsi sejarah yang…

1 hari ago

HSN 2025; Rekognisi Peran Santri dalam Melawan Radikalisme Global

Hari Santri Nasional (HSN) 2025 hadir bukan hanya sebagai ajang peringatan sejarah, tetapi sebagai momentum…

1 hari ago