Kebangsaan

Grebeg Besar Iduladha, Titik Temu Dakwah Spiritual & Sosial di Yogyakarta

Sabtu (7/6/2025), empat ekor gajah yang berada di baris terdepan mengayunkan langkah kaki menuju Pura Pakualaman. Kehadiran keempat ekor gajah yang memakai ikat kepala berwarna hijau dengan logo Keraton Yogyakarta itu disambut antusias oleh warga yang berjejer di sepanjang tepi Alun-alun Utara.

Cuaca panas terik tak menyurutkan niat mereka datang dan menyaksikan pelaksanaan upacara tradisi Grebeg Besar tersebut. Di antara penonton, terdapat beberapa wisatawan asing yang turut menyaksikan upacara itu dengan takjub.

Gajah dari Kebun Binatang Gembira Loka Zoo itu menjadi pengawal bagi gunungan yang dikirim dari Keraton Yogyakarta menuju Pura Pakualaman. Prajurit Lombok Abang dengan kostum mereka nan unik berbaris tepat di belakang keempat gajah itu (Kompas, 2025).

Garebek merupakan salah satu tradisi dari Keraton Yogyakarta yang paling dinanti masyarakat Yogyakarta. Bagi sebagian warga kota itu, mendapatkan isi gunungan berarti memperoleh berkah secara langsung dari Raja Keraton Yogyakarta.

Istilah “Garabek” atau “Grebeg” berasal dari kata “grebe” atau “gerbeg” yang dalam bahasa Jawa berarti suara angin. Ini mencerminkan suasana yang meriah dan penuh semangat saat prosesi berlangsung.

Prosesi Grebeg pertama kali diadakan oleh Sultan Hamengkubuwono I sebagai bentuk ungkapan syukur dan penghormatan kepada Tuhan. Sultan mengeluarkan hajat dalem berupa gunungan yang melambangkan hasil bumi dan berkah.

Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Syawal yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawal (Idulfitri) untuk merayakan akhir bulan Ramadan. Grebeg Besar yang diadakan pada tanggal 10 Zulhijah (Iduladha) sebagai perayaan hari raya kedua dalam Islam., dan Grebeg Maulud yang dilaksanakan pada 12 Rabiulawal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Grebeg memiliki akar yang mendalam dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Tradisi ini bermula dari inisiatif Sunan Kalijaga, seorang alim penyebar agama Islam yang sangat berpengaruh di Jawa, dan Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak. Pada abad ke-15, Sunan Kalijaga menggunakan perayaan ini sebagai metode dakwah untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa.

Dalam sejarahnya, Grebeg, terutama Grebeg Maulud, pertama kali diadakan di halaman Masjid Agung Demak, dan acara tersebut meliputi pertunjukan musik gamelan dan wayang kulit. Wayang kulit, yang merupakan media seni tradisional Jawa, dipilih karena kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan religius dengan cara yang menghibur dan mendidik. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi sarana dakwah tetapi juga menghibur masyarakat dan mempererat hubungan antara kerajaan dan rakyat.

Prosesi Grebeg Besar menjunjung nilai cadhong, yaitu pembagian secara tertib dan tidak dirayah (“diperebutkan”). Filosofi nyadhong menekankan penghormatan terhadap simbol kesejahteraan dan berkah dari raja kepada rakyatnya.

Pembagian Ubarampe Gunungan berlangsung di tiga titik lain yaitu Ndalem Mangkubumen, Masjid Gedhe, dan Puro Pakualaman. Gunungan dibagikan secara tertib, satu per satu, sebagai wujud tata krama dan penghormatan terhadap tradisi dan tatanan kosmos.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun Grebeg Besar memiliki akar kuat dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, terutama dalam konteks dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, dalam praktiknya acara ini lebih dari sekadar prakarsa spiritual.

Perpaduan antara unsur Islam dengan tradisi Jawa yang ada sebelumnya menunjukkan suatu bentuk akulturasi budaya yang subtil. Dalam hal ini, Grebeg Besar berfungsi sebagai jembatan antara dua dunia yang berbeda—tradisi Jawa pra-Islam dan ajaran Islam—yang kemudian menjadi bagian integral dari identitas budaya Yogyakarta. Grebeg mensinergikan nilai-nilai spiritual dengan kebudayaan lokal yang begitu kuat.

Tradisi ini bukan tanpa ancaman. Bagi banyak orang, Grebeg Besar masih dipandang sebagai sebuah tradisi yang menghubungkan masyarakat dengan sejarah dan keagamaan mereka. Tetapi di era digitalisasi ini, muncul pertanyaan apakah masyarakat sekarang masih mampu merasakan nilai-nilai sakral dari prosesi ini, ataukah hanya melihatnya sebagai atraksi budaya belaka. Ini menjadi catatan bersama.

Terlepas dari situasi itu, Grebeg Besar mencerminkan bagaimana budaya lokal dapat berintegrasi dengan ajaran agama, menciptakan sebuah perayaan yang tidak hanya memperingati peristiwa penting dalam sejarah agama tetapi juga memperkuat hubungan antara kerajaan dan rakyat. Grebeg Besar adalah contoh cemerlang dari bagaimana tradisi dapat berkembang dan bertahan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Dengan setiap prosesi dan ritualnya, Grebeg Besar terus menghubungkan masa lalu dengan masa kini, memperkuat identitas budaya dan religius masyarakat Jawa, dan menunjukkan kekayaan tradisi yang mempesona dan bermakna.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Mengeliminasi Ketakutan yang Tidak Logis terhadap Perbedaan

Ketakutan terhadap hal yang berbeda telah lama menjadi bagian dari perjalanan sejarah umat manusia. Sejak…

48 menit ago

Kurban dan Penyembelihan Fanatisme: Refleksi Filosofis dan Historis

Dalam samudra intelektual Islam, setiap ritual ibadah adalah sebuah tindakan semiotik berlapis, sebuah tanda yang…

49 menit ago

Kurban, Kontra-Fanatisme, dan Etika Kekhalifahan dalam Worldview Agama-agama Abrahamik

Gaza masih jadi altar modern tempat anak-anak dikorbankan atas nama ilusi keamanan dan janji tanah…

1 hari ago

Tuhan Tak Rela Manusia Terluka dan Mengapa Anda Melukai Manusia Mengatasnamakan Tuhan?

Cobalah kita renungkan bersama, esensi di balik ibadah Qurban di momentum Idul Adha itu. Bahwasanya,…

1 hari ago

Tasawuf Kurban; Menundukkan Ghuluw dalam Beragama

Dalam sebuah siniar, intelektual muslim dan kiai Ulil Abshar Abdalla ditanya. Mengapa ia sekarang aktif…

1 hari ago

Membantah Zakir Naik; Indonesia Bukan Negara Sekuler

Penceramah yang dikenal suka merendahkan agama lain, Zakir Naik tampil dalam podcast Richard Lee. Lee…

2 hari ago