Narasi

Islamic State dan Kekacauan Kelompok Khilafah Menafsirkan Konsep Imamah

Konsep imamah adalah salah satu aspek sentral dalam pemikiran politik Islam, yang mengacu pada kepemimpinan otoritatif dan spiritual yang dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam menegakkan hukum Islam dan memimpin umat Muslim. Namun, pemahaman dan implementasi konsep ini telah menjadi sumber kontroversi yang mendalam di dunia Islam, terutama ketika digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan dan terorisme.

Dalam tradisi Islam Sunni, imamah mengacu pada kepemimpinan politik yang dipilih oleh umat Muslim berdasarkan kualitas kepemimpinan, keadilan, dan keturunan yang dianggap memiliki kredensial yang sesuai. Sebagai contoh, dalam sejarah awal Islam, Khalifah (pemimpin umat Islam) dipilih oleh suara mayoritas dan diharapkan untuk memimpin umat dengan keadilan, bijaksana, dan mengikuti prinsip-prinsip Islam. Namun, dengan berjalannya waktu, otoritas politik Islam Sunni terpecah menjadi berbagai dinasti dan kekhalifahan yang berbeda, yang menghasilkan persaingan politik dan klaim atas kepemimpinan yang sah.

Di sisi lain, dalam tradisi Syiah Islam, konsep imamah memiliki makna yang lebih khusus, dengan menekankan bahwa kepemimpinan politik dan spiritual hanya boleh dimiliki oleh keturunan langsung Nabi Muhammad SAW, yang disebut sebagai Imam. Konsep ini telah memicu perpecahan yang mendalam antara kaum Sunni dan Syiah, dengan para penganut Syiah meyakini bahwa imam mereka memiliki otoritas Ilahi untuk menginterpretasikan hukum Islam dan memimpin umat secara mutlak tanpa menyisakan ruang bagi yang lain.

Itulah dasar klaim mereka. Mereka mengklaim untuk mendirikan khilafah yang bertujuan untuk mengembalikan kepemimpinan Islam yang ‘benar’, namun, tindakan dan metodologi mereka sering kali bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sejati. Kelompok-kelompok yang pro pendirian negara Islam sering menggunakan kekerasan dan terorisme untuk mencapai tujuan mereka, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang.

Selain itu, klaim Khilafah untuk memahami konsep imamah sering kali berpusat pada klaim otoritas yang absolut, tanpa mempertimbangkan konteks sejarah, teologi, atau prinsip-prinsip etika Islam. Mereka menggunakan konsep ini sebagai dasar untuk menjustifikasi penindasan, kekerasan, dan penaklukan atas orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka, yang jelas-jelas melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi dalam Islam.

Tidak hanya itu, klaim Khilafah terkait dengan imamah sering kali mengabaikan prinsip-prinsip kewajaran, konsultasi, dan persetujuan umat yang menjadi landasan kepemimpinan Islam yang benar. Sebaliknya, mereka mendorong kepatuhan buta dan taat kepada otoritas mereka, tanpa memberikan ruang bagi pemikiran kritis atau kebebasan berpendapat, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menganjurkan musyawarah.

Jadi, klaim Islamic State dan kelompok Khilafah terkait dengan imamah cenderung merupakan pemaksaan kehendak yang tidak sah atas umat Islam dan melanggar nilai-nilai Islam yang mendasar. Daripada mewakili kepemimpinan Islam yang ‘benar’, mereka mewakili pemahaman yang dangkal, ekstremis, dan terdistorsi dari ajaran Islam yang sejati.

Untuk memahami konsep imamah secara lebih holistik, penting untuk merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam yang otoritatif, seperti Al-Quran dan Hadis, serta memperhatikan konteks sejarah dan teologi yang relevan. Selain itu, penting untuk mengadopsi pendekatan yang kontekstual dan berbasis nilai dalam memahami konsep ini, yang menghargai prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan toleransi yang mendasari ajaran Islam secara keseluruhan.

Konsep imamah bukanlah alasan untuk kekerasan, terorisme, atau penindasan, tetapi seharusnya menjadi landasan untuk kepemimpinan yang adil, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam dan kemanusiaan secara luas. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam dan masyarakat internasional secara keseluruhan untuk menolak klaim ekstremis dan radikal yang mengklaim untuk mewakili konsep imamah, sambil mempromosikan pemahaman yang toleran, dan inklusif tentang ajaran Islam yang sejati.

Alfie Mahrezie Cemal

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

3 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

3 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

3 hari ago