Narasi

Jangan Bandingkan Speaker Masjid dan Dangdutan di Bulan Ramadan

Bukan hanya akhir-akhir ini, kerap kali ketika ada aturan tentang pengaturan speaker masjid, toa atau pengeras suara, selalu menimbulkan kontroversi. Kenapa selalu menjadi perdebatan tiada henti bahwa seolah pengeras suara masjid dilarang atau lebih parah lagi ada narasi yang menggiring seolah mematikan syiar Islam.

Salah satu yang menjadi persoalan dari setiap kebijakan yang dianggap sensitif adalah cara baca masyarakat yang tidak tuntas terhadap informasi kebijakan. Di sisi lain, terkadang memang para pembuat kebijakan kurang cerdas dalam mensosialisasikan kebijakan. Contoh, masalah Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid. Sejak awal aturan ini berbicara bagaimana mengatur penggunaan speaker masjid atau mushalla.

Jadi, persepsi pelarangan speaker itu tidak pernah ditemukan dalam aturan ini.

Namun, masalahnya masyarakat kadang terlalu buru-buru memakan framing dan provokasi. Ada misalnya si paling islami mengkritik dengan narasi dakwah dihambat, syiar Islam dibatasi, atau sebutan mengerikan lainnya. Padahal, si paling Islam ini tahu bahwa di negara manapun aturan pengeras suara ini ada dan lebih ketat dari pada di Indonesia. Cuma dia harus tampil biar seolah paling Islami.

Narasi yang tidak kalah menyesatkan adalah menyandingkan aturan penggunaan speaker masjid dengan dangdutan. Ini jelas sebuah perbandingan yang tidak masuk akal dan jelas tidak tepat sasaran. Pertama, tentu saja, Kementerian Agama (Kemenag) tidak mengurus speaker dangdutan atau izin keramaian dangdutan. Apakah Kemenag juga harus membuat aturan suara kebisingan dangdutan.

Kedua, dangdutan kan acara yang juga tidak mesti setiap hari dan dilakukan di Ramadan serta memiliki ijin yang berbeda. Tentu tidak melalui Kemenag kan? Atau mungkin ada usulan perizinan pengeras suara dangdutan diatur Kemenag?

Pada intinya terkadang masyarakat yang jarang membaca berita dan kebijakan secara penuh sering dipangkas oleh perkataan tokoh dan narasi tertentu yang seolah menyederhanakan persoalan. Semisal, pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla selama bulan Ramadan seolah menjadi aturan pelarangan dan pembatasan pengeras suara.

Masyarakat menangkapnya sederhana bahwa ini aturan yang mendzalimi umat Islam. Di negeri yang mayoritas muslim, pengeras suara masjid ternyata dibatas dan bahkan dilarang! Ini tentu kebijakan yang sangat anti Islam. Masyarakat yang gairah tinggi, tetapi literasi rendah akan seolah terbakar dengan narasi seperti ini. Seolah ini panggilan jihad untuk membela Islam yang terdzalimi.

Kebisingan narasi dan framing kebijakan seperti ini memang kerap muncul apalagi yang berkaitan dengan seolah Islam terdzalimi. Jika masyarakat mempunyai jam terbang dan waktu piknik yang banyak tentu mudah terprovokasi oleh mereka yang sering mengaku si paling islami dan si paling merasa terdzalimi.

Coba kita kaji secara jernih dengan memanfaatkan nuansa puasa yang penuh kearifan. Kita patut bertanya apakah pengeras suara atau speaker masjid itu bagian dari ruang publik yang perlu diatur atau privasi keagamaan? Jika privasi agama dan masjid negara jelas salah ikut campur masalah ini. Tetapi jika ini berkaitan dengan dampak publik, tentu saja wajar jika ada aturan dan pedoman.

Namun, aturan dan pedoman bukan berarti larangan. Beberapa negara sudah biasa mengatur persoalan pengeras suara masjid ini karena berkaitan dengan ruang publik. Di negara Islam sekalipun aturan pengeras suara ini diberlakukan. Misalnya, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi telah memberlakukan pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid hanya diizinkan untuk azan dan iqomah saja.

Di negara Timur Tengah lainnya Bahrain juga mengatur hal sama yang menyatakan speaker eksternal hanya digunakan untuk menyampaikan adzan saja. Bahkan otoritas Bahrain memberikan hak kepada warga untuk melapor jika ada speaker eksternal masjid yang terlalu keras dan mengganggu. Begitu pula dengan Uni emirate Arab yang meminta masyarakat melapor jika ada speaker masjid yang dianggap terlalu keras. Begitu pula dengan Mesir.

Lah, jika memang semua negara termasuk negara Islam pun mengatur masalah speaker masjid ini kenapa di Indonesia menjadi sangat bermasalah? Bahkan seolah pemerintah Indonesia melarang dakwah dan syiar. Bahkan ada yang mengatakan sebagian Eropa dan Amerika saja sudah mengizinkan adzan melalui pengeras masjid di Indonesia semakin dibatasi. Yah, begitulah sangat mudah memprovokasi, tetapi sangat berat mengedukasi.

Marilah hamba Allah, berikan masyarakat dengan informasi yang menyejukkan. Tidak usah selalu provokatif agar terlihat paling depan membela Islam, tetapi secara tidak sadar kita justru menyesatkan informasi.

This post was last modified on 17 Maret 2024 10:53 AM

M Nimah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago