Narasi

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu tren viral hari ini, esok lusa sudah tergantikan oleh kehebohan baru. Di tengah riuhnya konten-konten yang memperebutkan perhatian itu, ada satu narasi optimis yang sayup-sayup namun konsisten bergaung selama dua tahun terakhir dari lanskap keamanan nasional kita: “Fenomena Nihil Serangan”. Sebuah frasa yang menyejukkan, menandakan ketiadaan serangan teroris skala besar yang berhasil mengoyak ketenangan publik. Tentu, ini adalah pencapaian yang patut diapresiasi, buah dari kerja keras aparat dan berbagai elemen bangsa.

Namun, layaknya ketenangan sebelum badai dalam film-film thriller yang sering kita tonton cuplikannya di TikTok, narasi “nihil serangan” ini menyimpan potensi risiko kepuasan diri yang membahayakan. Kita, sebagai masyarakat yang kini begitu mudah terlena oleh euforia sesaat—entah itu diskon belanja online besar-besaran atau keberhasilan timnas sepakbola—perlu menahan diri sejenak. Jangan sampai kita terjebak dalam ilusi bahwa ancaman telah sepenuhnya sirna hanya karena ledakan bom tak lagi terdengar atau berita penangkapan tak lagi menjadi headline utama.

Realitasnya, medan juang melawan terorisme telah bergeser, bertransformasi dari aksi fisik sporadis menjadi perang ideologi yang lebih senyap namun tak kalah masif di ranah digital. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, otoritas Indonesia telah memblokir hampir 200.000 konten yang mengandung intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah sirene peringatan bahwa radikalisasi daring tengah menyasar individu-individu, mengubah mereka menjadi ‘serigala tunggal’ yang siap beraksi kapan saja. Kasus penangkapan remaja berinisial MAS (18 tahun) di Gowa, seorang penghafal Al-Qur’an yang aktif di pesantren namun diduga menyebarkan propaganda ISIS melalui media sosial, adalah tamparan keras yang menyadarkan kita akan ancaman yang bersembunyi di balik layar gawai anak-anak kita.

Fenomena “nihil serangan” fisik justru harus dibaca sebagai sinyal bahwa musuh sedang beradaptasi, bukan menyerah. Mereka mungkin tak lagi menyerang pasar atau tempat ibadah secara terbuka, namun ideologi mereka terus merayap, mencari celah di kerapuhan pemahaman dan kewaspadaan kita. Jika kita hanya mengukur keberhasilan dari ketiadaan serangan fisik yang berhasil, kita berisiko meremehkan upaya senyap aparat yang terus-menerus menggagalkan plot dan menangkap individu kunci, seperti yang terjadi di Gowa.

Perspektif Zygmunt Bauman mengenai “liquid modernity” (modernitas cair) menemukan relevansinya di sini. Dalam era di mana segala sesuatu menjadi cair, tidak pasti, dan terus berubah, bentuk ancaman pun turut menjadi fluid. Medan juang melawan terorisme, yang dulu mungkin lebih mudah dipetakan melalui aksi fisik sporadis, kini telah bertransformasi menjadi perang ideologi yang lebih senyap, lebih klandestin, namun tak kalah destruktif di ranah digital. Jika kita mengacu pada teori Ulrich Beck tentang “risk society” (masyarakat risiko), kita sejatinya hidup dalam sebuah era di mana risiko-risiko baru, yang seringkali tak kasat mata dan merupakan produk sampingan modernisasi (termasuk digitalisasi), terus diproduksi. Radikalisasi daring adalah salah satu manifestasi risiko tersebut.

Laporan EU TE-SAT 2024 dari Europol bisa menjadi cermin pembanding. Mereka secara komprehensif mencatat tidak hanya serangan yang berhasil, tetapi juga yang gagal dan digagalkan. Pendekatan holistik ini memberikan gambaran ancaman yang lebih utuh. Bayangkan jika Indonesia mengadopsi metodologi serupa, narasi “nihil serangan” mungkin akan terasa berbeda, lebih bernuansa, dan yang terpenting, menjaga kita tetap waspada.

Menurunnya angka penangkapan terduga teroris pada tahun 2024, yang terendah dalam lima tahun terakhir, juga jangan buru-buru diartikan sebagai melemahnya ancaman. Bisa jadi ini menunjukkan pergeseran strategi aparat yang lebih fokus pada target bernilai tinggi atau ancaman yang lebih terfragmentasi dan sulit dideteksi.

Maka, di tengah sunyinya serangan fisik ini, resistensi kita justru harus semakin ditingkatkan. Bukan resistensi dalam bentuk parade senjata, melainkan resistensi dalam bentuk literasi digital yang mumpuni, ketahanan keluarga dalam membentengi anggota dari paparan radikalisme, dan dukungan tanpa henti kepada aparat untuk terus bekerja dalam senyap. Karena dalam keheningan, kewaspadaan adalah senjata utama kita. Jangan sampai kita baru tersadar ketika riuh rendah itu kembali pecah, bukan karena tren media sosial, melainkan karena kelalaian kita sendiri.

Samachatul Maula

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

15 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

17 jam ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

17 jam ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

2 hari ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

2 hari ago