Memelihara janggut dan tersenyum sama-sama sunnah rasul, maka beruntunglah orang-orang yang Allah beri karunia janggut. Tanpa perlu bersusah payah, selain hanya cukup menahan diri untuk tidak mencukurnya, orang-orang tersebut akan memiliki janggut yang tumbuh lebat. Semakin tebal dan panjang janggutnya, semakin afdhal ia menjalankan sunnah-nya. Sunnah memelihara janggut nyaris tak memerlukan usaha yang keras (kecuali untuk orang-orang yang harus menggunakan obat penumbuh bulu).
Berbeda dengan memelihara janggut, senyum adalah sunah rasul yang memerlukan usaha. Untuk menyunggingkan sebuah senyum kita perlu menggerakkan 13 otot wajah kita. Bukanlah hal yang mudah unutk tersenyum pada orang yang kita benci. Saat hati kita dibebani banyak masalah, tersenyum akan jauh terasa lebih berat dari mengangkat beban. Maka tak heran, senyum dikategorikan sebagai salah satu bentuk shadaqah, selevel dengan beramal lain seperti mendermakan harta. Karena menyunggingkan senyum kadang sama beratnya dengan menyisihkan harta untuk sesama.
Dari segi usaha yang dikeluarkan, tentu saja tersenyum lebih besar nilai usahanya daripada memelihara janggut. Meskipun dua-duanya adalah sunnah, kita bisa menilai mana yang lebih utama. Janggut adalah simbol yang mendekatkan kita dengan fisik rasul. Sementara senyum adalah sikap yang mengidentikkan kita dengan akhlak rasul. Janggut adalah simbol. Senyum adalah akhlak. Orang yang tak dikaruniai janggut bisa tetap mulia, tetapi setiap orang yang kehilangan senyum, pasti ada masalah dengan akhlaknya.
Namun sayang, dalam menjalankan sunnah kadang kita lebih mengutamakan yang bersifat simbolik daripada yang bersifat esensi. Tak jarang kita menemukan Muslim yang berjanggut bahkan lengkap dengan jubah, tapi wajahnya masam tanpa senyum. Lebih parah lagi, orang yang berjanggut dihinggapi sikap ujub (merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain), merasa dirinya menjalankan sunnah meski tak jarang mereka menampakkan wajah tak ramah, menganggap remeh orang yang yang berjanggut. Berjanggut dengan dihiasi senyum adalah afdhal karena menjalankan dua sunnah sekaligus. Tetapi berjanggut tanpa senyum seperti berdasi tanpa celana.
Rasulullah dikenang dan dipuja bukan karena janggutnya. Tapi karena pribadinya yang dikenal sebagai “bassaaman dlahhaakan,” pribadi yang selalu tersenyum dan ceria. Saat menyendiri Rasul memang selalu menangis khusyuk dalam doa. Tetapi dalam bersosialisasi, Nabi adalah pribadi yang riang, ceria bahkan humoris. Senyumnya ia hadirkan bukan hanya untuk para sahabatnya, tapi juga para musuhnya. Senyumnya bukan hanya saat bahagia, tetapi saat berduka. Karenanya rasul menghimbau agar seorang Muslim mampu menyembunyikan kesulitannya di hadapan manusia, dan hanya mengadukan keluh kesah pada Allah. Sesulit apapun beban hidup, di hadapan manusia kita harus tersenyum. Fake it, you will make it.
This post was last modified on 31 Maret 2015 10:33 AM
Mari kita bayangkan Indonesia bukan dilihat dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Tetapi, bayangkan…
Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik…
Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…
Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…
Gen Z lahir dengan dua kewarganegaraan. Indonesian citizenship dan internet citizenship (netizen). Bagi mereka, tidak…
Hasil survei dari Alvara Institute pada tahun 2022 lalu menyebutkan bahwa agama menjadi salah satu…
View Comments
I really wish there were more areltics like this on the web.