Narasi

Jawa, Etika, dan Olah Rasa

Radikalitas, yang dalam Serat Wedhatama diistilahkan sebagai “durangkara,” konon dapat diantisipasi oleh “ngelmu” yang tak hanya berupa ilmu, teori, atau juga pola pemahaman, namun lebih kepada praksis atau eksperientalisme. “Ngelmu” itulah yang ketemunya semata melalui laku, “Ngelmu iku kelakone kanthi laku.”

Dalam kebudayaan Jawa terdapat berbagai macam praksis kebudayaan yang, pada tataran agenda besarnya, berupaya mengestetikakan sebuah eksistensi. Rasa, pada tataran ini, tentu saja adalah parameter dalam rangka estetikasisasi eksistensi itu.

Estetika eksistensi merupakan praktik yang ditemukan oleh Michel Foucault dalam kebudayaan Yunani purba, yang mana etika adalah sebentuk praksis kehidupan. Atau lebih tepatnya, sebuah kiat dimana orang menyikapi kehidupan (dan bahkan kematian) yang tengah melingkupi. Jadi, ketika orang Jawa meletakkan rasa pada wilayah yang tinggi dalam segenap aktifitas kebudayaan yang dihidupi, adalah sama belaka ketika orang Yunani, dalam terang Heidegger, meletakkan “nous,” yang lazimnya dimaknai sebagai akal, sebagai “percikan jiwa” yang sepadan dengan pengertian rasa dalam kebudayaan Jawa.

Gamelan Jawa, atau karawitan sebagai jenis musik yang menggunakannya sebagai sumber bunyi-bunyian, memang sarat dengan nilai-nilai filosofis yang dianggap tinggi. Mulai dari bentuk-bentuk instrumennya, struktur gending, hingga penyajiannya, seakan sebuah deskripsi atas kehidupan beserta segala kompleksitasnya.

Pada gending Pujangga Anom, di antara beberapa gending lainnya, yang bernada slendro manyura, terdapat lirik, pada bagian gerong, yang seolah merupakan perasan dari keseluruhan praksis kebudayaan Jawa: moderasi. Bahkan pun pada tataran perang, peperangan, atau persinggungan dengan yang lain, moderasi itu tetap menduduki posisi yang terluhur, dari “nandhing sarira,” “tepa sarira,” hingga “mulat sarira” atau mawas diri.

Winawas sawusing semu

Semu pasemoning jalmi

Miwah basa basanira

Ukara kedaling lathi

Pun enget sajroning nala

Labuh lelabeting jalmi

Busana bebasanipun

Pan liniling siyang ratri

Tatanen titining basa

Basa basukining kapti

Tetep tindak tandukira

Ngarah-arah den aririh

Ngarah-arah den aririh” secara jelas adalah sebentuk laku yang menolak potensi atau kecenderungan radikal dari seseorang. Ketika orang melakukan laku itu, maka—di luar aspek dirinya—ia tengah melakukan sebentuk estetikasisasi eksistensi. Atau dalam rumus kaum wujudiyah, orang itu (makhluq) tengah mengaitkan diri (akhlaq) pada sang Khaliq.

Jadi, pada dasarnya, baik dalam kebudayaan Jawa, kebudayaan para sufi, dan kebudayaan para filosof di masa Yunani purba, budi pekerti, akhlaq, ataupun etika, bukanlah hal yang sepele. Kesepelean itu kadang kala muncul ketika orang mengaitkan itu semata dengan perkara sopan-santun, tata-krama, dsb.

Letak penting budi pekerti sebagai praksis kehidupan secara gamblang diungkapkan oleh lirik atau cakepan gerongan gending Pujangga Anom tersebut yang jelas-jelas meletakkan radikalitas sebagai sebentuk “celaka.” Ketika orang berbusana (busana bebasanipun), dan busana itu terasa tak sesuai dengan kodrat tubuh, jelas kenyamanan atau ketaknyamananlah yang bakal ditimbulkan.

Dengan demikian, masalah budi pekerti, akhlak, atau etika, adalah sebentuk masalah yang kembali pada diri sendiri. Dan radikalitas, secara tegas, adalah sebentuk perilaku yang tunaetika, seorang makhluq yang menjauh, keluar, atau lepas, dari sang Khaliq.

This post was last modified on 1 Maret 2024 3:32 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

1 hari ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

1 hari ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

1 hari ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

4 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

4 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

4 hari ago