Narasi

Mengapa Perempuan dan Anak Muda Rentan Terpapar Paham Radikal?

Dalam I-KHub BNPT Counter Terrorism and Violent Extremism Outlook 2023, BNPT menemukan bahwa perempuan dan anak muda rentan terpapar paham radikal. Temuan ini membuat kita bertanya-tanya: mengapa perempuan dan anak muda rentan terpapar paham radikal? Kerentanan perempuan dan anak muda terpapar paham radikal sebenarnya tidak berangkat dari ruang kosong melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor internal dan eksternal.

Pertama, lingkungan sosial yang memperkuat pola pikir ekstrem. Di banyak negara, kelompok-kelompok radikal memanfaatkan ketidakpuasan terhadap pemerintah atau ketidakadilan  untuk merekrut simpatisan. Perempuan dan anak muda yang merasa terpinggirkan atau tidak memiliki suara dalam masyarakat seringkali lebih rentan terhadap propaganda yang menawarkan pemahaman sederhana atas masalah yang mereka hadapi.

Kedua perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah menjadi pendorong utama dalam penyebaran paham radikalisme di kalangan perempuan dan anak muda. Media sosial, misalnya, memberikan platform yang mudah diakses bagi kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda mereka dan merayu individu-individu yang rentan. Fitur-fitur seperti algoritma yang personalisasi juga dapat memperkuat gelembung informasi di mana individu-individu hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, memperkuat radikalisasi.

Ketiga, pendidikan yang kurang atau terbatas juga menjadi faktor penting dalam rentannya perempuan dan anak muda terpapar paham radikal. Di banyak wilayah, terutama di negara-negara berkembang, akses terhadap pendidikan berkualitas masih terbatas, terutama bagi perempuan. Kurangnya pendidikan membuat individu lebih rentan terhadap manipulasi informasi dan lebih cenderung menerima narasi radikal tanpa kritis. Anak muda yang tidak memiliki akses pendidikan yang memadai juga rentan terhadap rekrutmen oleh kelompok-kelompok radikal yang menawarkan alternatif “pendidikan” dengan narasi radikal mereka.

Keempat, ketidaksetaraan gender. Dalam masyarakat di mana perempuan seringkali dianggap memiliki peran yang terbatas dan dikekang oleh norma-norma sosial yang konservatif, mereka seringkali mencari bentuk kebebasan atau pengakuan di luar norma tersebut. Hal ini dapat membuat mereka lebih terbuka terhadap narasi radikal yang menjanjikan pembebasan atau pengakuan yang diinginkan. Selain itu, perempuan yang merasa terpinggirkan dalam masyarakat dapat melihat radikalisme sebagai cara untuk menantang status quo dan memperoleh kekuatan yang mereka percaya telah dirampas.

Kelima, ketidakstabilan politik. Dalam situasi di mana ketidakstabilan politik dan kekerasan merajalela, anak muda seringkali mencari bentuk identitas dan kepemimpinan alternatif. Kelompok-kelompok radikal seringkali menawarkan diri mereka sebagai agen perubahan yang kuat dan efektif, menarik para pemuda yang frustrasi dengan kondisi politik.

Selain faktor-faktor tersebut, penting untuk diakui bahwa paham radikalisme juga dapat terbentuk sebagai respons terhadap pengalaman trauma atau ketidakadilan yang dialami oleh individu. Perasaan ketidakadilan atau penindasan dapat memicu kemarahan dan keinginan untuk balas dendam, yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal.

Untuk mengatasi perempuan dan anak muda terpapar paham radikal, diperlukan pendekatan yang holistik dan inklusif. Pendidikan yang berkualitas dan inklusif harus menjadi prioritas, dengan menekankan pada keterampilan kritis dan literasi media yang dapat membantu individu membedakan antara informasi yang akurat dan propaganda radikal. Selain itu, perlu ada upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi yang dapat menjadi pemicu radikalisasi. Mengedepankan keadilan gender dan memperkuat peran perempuan dalam masyarakat juga penting untuk mengurangi rentan mereka terhadap paham radikalisme.

Penting juga untuk menghadapi akar penyebab konflik dan ketegangan politik yang seringkali menjadi sumber radikalisasi. Ini termasuk upaya untuk mempromosikan perdamaian, rekonsiliasi, dan partisipasi politik yang inklusif bagi semua kelompok masyarakat, termasuk perempuan dan anak muda.

This post was last modified on 4 Maret 2024 10:56 AM

Farisi Aris

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

3 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

3 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

4 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

4 hari ago