Tanggal 25 November diperingati sengaja Hari Guru Nasional, mengacu pada berdirinya organisasi profesi guru, yakni PGRI. Peringatan Hari Guru tahun ini mengusung tema sederhana, Guru Hebat, Indonesia Kuat. Sederhana, namun kompleks bila dijelaskan.
Guru hebat adalah frasa yang tidak mudah didefinisikan. Hebat dalam artian apa? Bisa mengajar dengan metode canggih? Memiliki gelar akademik berderet? Mendapat penghargaan dari sana-sini? Disukai muridnya? Jika ditelaah secara obyektif, guru hebat adalah guru yang selalu relevan dengan zaman.
Zaman berubah, metode pembelajaran dinamis, tantangan baru datang, perilaku dan kebiasaan anak didik pun bergeser. Mau tidak mau guru harus beradaptasi. Guru hebat adalah guru yang mau dan mampu beradaptasi dengan dinamika zaman berikut tantangannya.
Terlebih hari ini, kita tengah ada di puncak perkembangan teknologi digital. Puncak yang menjanjikan kemudahan dalam berbagai bidang, sekaligus juga menyisakan sejumlah residu persoalan.
Dunia digital ibarat koin bersisi ganda; satu sisinya terang, sisi sebelahnya gelap. Sisi terang dunia digital dapat kita lihat dari terbukanya akses pada informasi dan pengetahuan ke seluruh lapisan masyarakat. Dunia digital mempersatukan individu di seluruh dunia dalam satu jaringan virtual.
Namun, dunia digital juga memilki sisi gelapnya. Beragam problem baru muncul seiring ledakan tekonogi digital. Mulai dari fenomena hoaks, penipuan online, sampai propaganda kebencian dan kekerasan di ruang maya. Ironisnya, anak dan remaja bisa dibilang sebagai kelompok demografi paling dirugikan oleh krisis dunia digital.
Dunia Digital Sebagai Silent Killer
Dunia digital menjadi silent killer alias pembunuh senyap bagi anak dan remaja. Paparan konten kekerasan, perundungan digital, pelecehan seksual, sampai infiltrasi ekstremisme lazim dialami anak di dunia digital. Anak dan remaja hari ini banyak mengalami krisis intelektual, moral, dan mental. Krisis intelektual mewujud pada membusuknya otak akibat terlalu banyak mengakses media sosial dan menikmati konten receh.
Krisis moral tampak pada hilangnya sopan santun di kalangan sebagian anak dan remaja. Standar media sosial mengubah persepsi anak tentang hubungan sosial dengan orang yang lebih tua, termasuk guru.
Sedangkan krisis mental tampak pada maraknya gejala kecemasan berlebih yang mengarah pada depresi di kalangan anak dan remaja. Kehidupan virtual yang penuh kepalsuan dan artifisial membuat anak dan remaja rentan mengalami gangguan mental.
Di tangan krisis dunia digital, peran guru idealnya tidak lagi sekadar menjadi penyampai ilmu. Guru harus berkontribusi dalam upaya mengatasi krisis dunia digital yang menempatkan anak dan remaja sebagai korban. Guru kerap disebut sebagai orang tua kedua. Dalam artian, fungsi guru di sekolah adalah melakukan tugas pengasuhan dan pendidikan yang didelegasikan orang tua.
Di satu sisi, guru adalah profesi yang membutuhkan sederet kualifikasi dan kompetensi. Namun, jangan lupa bahwa guru juga sebuah laku hidup. Laku hidup dalam artian bahwa menjadi guru idealnya adalah bagian dari panggilan jiwa. Maka, menjadi guru bukan sekadar menjadi sekrup kecil dari mesin pendidikan nasional.
Menjadi guru bukan sekadar datang, mengajar, lalu pulang. Menjadi guru adalah memahami anak didiknya, memotivasi mimpi-mimpi mereka, sekaligus menjadi teman untuk berbagi keluh kesah anak didiknya.
Dalam konteks yang lebih besar, guru adalah pilar bangsa di tengah krisis dunia digital. Kesannya menjadi pilar bangsa itu cendrung beban berat bagi para guru. Nyatanya tidak demikian. Menjadi pilar bangsa adalah konsep yang sebenarnya sangat sederhana.
Ketika guru memahami perannya sebagai sekadar profesi, maka ia akan terjebak pada logika materialis dan pragmatis. Relasinya dengan murid akan dilandasi logika transaksional alias untung-rugi.
Namun, jika guru dipahami sebagai sebuah laku hidup, maka ia akan menjalani perannya sepenuh hati. Anak didik akan diposisikan bukan semata sebagai objek pembelajaran. Melainkan dipahami sebagai manusia utuh yang harus dibentuk aspek intelektual, moral, dan mentalnya.
Dalam bahasa aslinya, yakni Sanskerta kata guru bermakna pengusir kegelapan. Dengan kata lain, guru adalah cahaya pembawa terang. Gelap dapat diartikan sebagai kebodohan atau kondisi penuh krisis. Di tengah kondisi dunia digital yang dilanda beragam krisis, peran guru adalah menjadi penerang dengan ilmunya, sikap welas asihnya, dan keteladanannya.
Sedangkan dalam leksikon Jawa, guru kerap diartikan sebagai kependekan dari “digugu lan ditiru” (dipatuhi ucapannya dan dicontoh perilakunya). Digugu merujuk pada kemampuan verbal guru dalam membangun narasi positif di ruang kelas. Guru yang hebat adalah guru yang mampu membangun narasi positif dan optimis ke anak didiknya.
Sedangkan ditiru merujuk pada kemampuan guru dalam menjadi role model bagi muridnya. Ini bukan berarti guru harus sempurna tanpa cela layaknya malaikat. Bukan. Menjadi role model artinya senantiasa memastikan perilakunya sesuai dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Akirul kalam, selamat Hari Guru!
Dalam negara majemuk seperti Indonesia, posisi guru tidak hanya berkaitan dengan tugas mengajar di ruang…
Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, keberadaan kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian tak terpisahkan…
Sekolah modern mengenal pembagian kelas berdasar umur dan kemampuan murid. Kelas sebagai bangunan fisik didesain…
Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui…
Minat anak dan remaja terhadap konten provokatif kini semakin terlihat jelas. Video tawuran yang dianggap…
Kepala BNPT Komjen Edy Hartanto menyebut bahwa pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta mengakses konten…