Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, keberadaan kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. AI membantu mempercepat proses belajar, menyediakan informasi tanpa batas, bahkan mendeteksi pola perilaku radikal di dunia maya. Namun, sedalam apa pun kemampuan teknologi ini, ia tetap tak bisa menggantikan figur guru, khususnya sebagai pendidik, pengasuh nilai, dan pembentuk karakter generasi muda.
Ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada ancaman radikalisme yang semakin subtil melalui media sosial, game online, dan ruang digital lain, kebutuhan akan guru yang memiliki integritas kebangsaan semakin mendesak. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, melainkan membangun kesadaran nasionalisme yang kritis, moderat dan inklusif.
Radikalisme pada anak dan remaja tidak hanya muncul dari kesalahan dalam memahami ajaran agama atau ideologi tertentu, tetapi juga dari lemahnya rasa memiliki terhadap bangsa. Banyak anak yang tertarik pada narasi radikal bukan karena mereka setuju dengan kekerasan, melainkan karena mereka mencari makna, jati diri, dan ruang pengakuan.
Di situlahguru memegang peran vital. Dengan kedekatan emosional dan interaksi langsung, guru mampu membaca gelagat perubahan perilaku siswa, sesuatu yang tidak dapat diindra oleh AI yang hanya mengolah data. Guru juga hadir sebagai teladan hidup—cara mereka berbicara, bersikap dan menunjukkan cinta tanah air yang paling efektif.
Memang, AI mungkin dapat memberikan konten tentang Pancasila secara lebih luas dengan data yang dimiliki, tetapi AI tidak bisa menunjukkan apa rasanya menjadi manusia yang mencintai sesama, atau merasakan duka ketika bangsanya menghadapi ancaman. Guru, dengan keberadaannya yang otentik, menghadirkan semua itu setiap hari di ruang kelas.
Pada saat yang sama, guru juga bisa menjadi fasilitator dialog kebangsaan bagi para siswa. Ketika siswa bertanya tentang perbedaan suku, agama, bahasa, atau pilihan politik di masyarakat, guru dapat menjelaskan dengan nada yang menyejukkan dan perspektif yang arif. Mereka mampu menyesuaikan pendekatan dengan kondisi psikologis siswa, memahami latar keluarga, serta mengonversi konflik kecil antar-pelajar menjadi pembelajaran tentang toleransi.
AI mungkin mampu memberikan jawaban logis, tetapi ia tidak memiliki intuisi pedagogis untuk meredam emosi anak, menenangkan yang marah, atau menuntun siswa yang bingung. Dialog antarmanusia mengandung unsur afektif yang membuat nilai kebangsaan lebih membekas ketimbang sekadar menerima informasi seperti yang diproduksi oleh AI.
Selain itu, guru berperan sebagai penjaga narasi kebangsaan. Banyak anak hari ini terpapar informasi yang terfragmentasi; mereka melihat cuplikan video, potongan ceramah, atau propaganda instan di media sosial tanpa konteks. Guru hadir memberikan narasi utuh mengenai sejarah bangsa, perjuangan pendiri negara, dana apa itu makna kemerdekaan
Dengan kemampuan pedagogis yang telah ditempa melalui pelatihan dan pengalaman, guru bisa menyederhanakan konsep yang rumit menjadi cerita yang menyentuh. Kisah tentang jasa pahlawan lokal, perjuangan masyarakat di daerah terpencil, atau nilai gotong royong yang mengakar justru membuat siswa merasa menjadi bagian dari bangsa yang besar dan patut untuk dijaga. Tidak seperti AI yang bekerja dengan algoritma, guru mengajarkan sejarah dengan emosi, sehingga nilai patriotisme tumbuh melalui ikatan batin, bukan sekadar hafalan.
Sementara itu, dalam konteks pencegahan radikalisme, guru bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga detektor dini. Mereka bisa secara langsung menyaksikan perubahan perilaku siswa setiap hari—dari cara berbicara, pergaulan, minat baru, hingga pola ekspresi di kelas. Ketika ada kecenderungan ekstrem pada diri siswa, guru yang peka dapat segera melakukan pendekatan personal atau koordinasi dengan pihak sekolah dan orang tua.
Pencegahan melalui pendekatan interpersonal seperti itu jelas tidak dapat dilakukan/diperankan oleh AI, karena AI hanya bisa mengolah data yang diberikan, bukan membaca bahasa tubuh, nada suara, atau kepedihan tersembunyi di balik tatapan seorang anak. Sikap humanis guru menjadikan proses pembinaan lebih lunak tapi efektif, karena siswa merasa didengarkan ditemani melewati fase-fase sulit dalam pencarian identitas.
Jadi meskipun AI memang memiliki kemampuan superior dalam analisis data besar (big data), namun guru memiliki kemampuan yang tidak kalah penting: membangun budaya kritis, empati, dan karakter siswa. Inilah yang posisi guru tak bisa digantikan oleh AI.
Sekolah modern mengenal pembagian kelas berdasar umur dan kemampuan murid. Kelas sebagai bangunan fisik didesain…
Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui…
Minat anak dan remaja terhadap konten provokatif kini semakin terlihat jelas. Video tawuran yang dianggap…
Kepala BNPT Komjen Edy Hartanto menyebut bahwa pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta mengakses konten…
Kita sedang berada di fase sejarah di mana "ruang aman" adalah sebuah kemewahan yang nyaris…
Di zaman ketika jari lebih cepat dari nalar, bangsa ini menghadapi ujian yang lebih berbahaya…