Narasi

Kaum Milenial, Moderasi Beragama dan Budaya Populer

Kita tentu sepakat bahwa mewabahnya paham dan gerakan radikal-terorisme tidak dilatari oleh faktor tunggal. Meski demikian, agaknya kita patut mengakui bahwa agama memiliki saham dan andil tidak sedikit pada tumbuh dan berkembangnya ideologi radikal-terorisme. Pandangan dan sikap keberagaman yang kaku, eksklusif dan cenderung intoleran ditengarai menjadi akar dari sengkarut persoalan terkait radikalisme dan terorisme yang menghantui Indonesia belakangan ini.

Ironisnya, corak keberagamaan yang kaku, eksklusif dan intoleran itulah yang menjadi arusutama di Indonesia, setidaknya dalam dua dekade belakangan. Pasca Reformasi, kita menyaksikan sendiri bagaimana corak kebergamaan terutama di kalangan umat Islam mulai mengarah pada konservatisme. Di satu sisi, umat Islam menunjukkan kecenderungan semakin saleh secara individual. Namun, di sisi lain kesalehan individual dan simbolistik itu juga berbanding lurus dengan kian meningkatnya intoleransi berbasis perbedaan agama.

Lebih fatal lagi, corak konservatisme beragama justru marak menjangkiti kelompok anak muda milenial (rentang usia 25 sampai 40 tahun). Sejumlah riset menunjukkan bahwa anak muda merupakan kelompok paling rentan terpapar gerakan dan paham radikal-terorisme. Survei yang dilakukan oleh Alvara Institute pada tahun 2017 misalnya, menyebut bahwa sekitar 42 persen anak muda cenderung permisif pada paham radikal keagamaan. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Wahid Institute mengungkap fakta bahwa jaringan organisasi radikal-terorisme belakangan menjadikan kelompok muda milenial sebagai sasaran indoktrinasi dan perekrutan.

Berbagai hasil survei itu terkonfirmasi oleh sejumlah aksi terorisme yang terjadi selama satu dekade belakangan ini dimana pelakunya kebanyakan berasal dari kelompok usia muda. Sejumlah anak muda milenial tahun yang seharusnya tengah ada di puncak produktifitas justru rela mengorbankan hidupnya dan menjadi martir atas nama “jihad”. Terakhir, dua peristiwa teror di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta melibatkan tiga pelaku yang semuanya masih tergolong muda.

Urgensi Agenda Moderasi Beragama

Disinilah pentingnya agenda moderasi beragama di kalangan kaum muda. Menjadi muda identik dengan ghirah keagamaan yang meluap-luap. Semangat mendalami agama yang tinggi itu idealnya harus diimbangi dengan penanaman nilai dan prinsip moderasi beragama yang bertujuan mewujudkan keberagamaan yang moderat, inklusif dan toleran. Jika tidak diarahkan dengan baik, gairah beragama kaum muda ini tentu rawan ditunggangi oleh anasir radikal-teroris.

Sebagian besar anak muda terpapar ideologi radikal-terorisme lebih karena ketidaktahuan dan sempitnya wawasan keagamaan mereka. Umumnya, anak muda yang terpapar ideologi radikal-terorisme ialah mereka yang kurang memiliki dasar pemahaman agama yang kuat, dan tidak terafiliasi dengan ormas-ormas Islam moderat seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama. Didorong oleh kehendak beragama yang kuat, mereka mencari pengetahuan agama secara otodidak, salah satu yang paling sering ialah dengan berselancar di dunia maya.

Belajar Islam di dunia maya tentu tidak ada salahnya. Di era disrupsi digital seperti saat ini, belajar apa pun termasuk agama tentu tidak harus melalui institusi pendidikan resmi. Namun, satu hal yang perlu diingat bahwa dunia maya sangat rentan oleh konten keagamaan dengan narasi konservatisme dan radikalisme. Diakui atau tidak, mayoritas konten keislaman di kanal maya memiliki kecenderungan kaku, eksklusif dan intoleran.

Fenomena yang mencuat belakangan ini memperlihatkan satu kecenderungan bahwa banyak anak muda mengalami radikalisasi secara daring. Artinya, proses radikalisasi itu terjadi tanpa ada perantara pihak kedua, melainkan terjadi secara alamiah karena seringnya menerima asupan konten keagaaan bercorak intoleran dan eksklusif. Swaradikalisasi inilah yang lantas melahirkan fenomena anyar dalam terorisme, yakni maraknya serangan teror berbasis aksi lone-wolf.

Moderasi beragama di kalangan kaum muda milenial memang bukan perkara mudah. Namun, bukan berarti mustahil. Diperlukan upaya serius untuk membumikan dan mengarusutamakan keberagamaan dan keberislaman bercorak wasathiyyah alias moderat. Dalam konteks ini, kita membutuhkan semacam pendekatan baru agar wacana moderasi keberagamaan ini bisa menyentuh kelompok muda milenial. Selama ini, wacana moderasi beragama hanya berakhir menjadi bahan diskusi di kalangan akademik dan kaum intelektual.

Moderasi Beragama dengan Pendekatan Budaya Populer

Moderasi beragama di kalangan anak muda milenial membutuhkan pendekatan yang relate alias nyambung dengan kehidupan mereka. Selama ini, moderasi beragama terkesan tidak populer di kalangan anak muda karena metode pendekatannya yang terlalu akademis dan jauh dari kehidupan anak muda. Salah satu pendekatan yang penting dipakai dalam agenda moderasi beragama di kalangan anak muda milenial ialah melalui budaya populer (pop culture). Di era digital ini, budaya populer tidak hanya didominasi oleh karya-karya seni populer seperti musik, film dan sejenisnya, namun juga mencakup konten audio-visual yang bertebaran di sejumlah jejaring media sosial.

Artinya, narasi keberagamaan yang moderat, inklusif dan toleran bisa disebarkan ke kalangan generasi muda tidak hanya melalui buku, makalah atau artikel, namun melalui musik, film, konten audio-visual dan produk-produk budaya populer lainnya. Di era media sosial seperti sekarang, budaya populer berbasis digital kiranya menjadi sarana komunikasi sekaligus penyampai pesan yang efektif dalam membangun persepsi dan opini publik. Ketimbang referensi tertulis berupa buku, makalah atau artikel jurnal ilmiah yang segmented.

Selama ini, problem agenda moderasi beragama di kalangan generasi muda sebenarnya tidak terletak pada materi atau kontennya, namun lebih pada strategi pendekatannya. Maka, penting bagi pemerintah, ormas keagamaan bercorak moderat dan masyarakat pada umumnya untuk membumikan sekaligus mengarusutamakan moderasi beragama di kalangan kaum muda milenial melalui pendekatan yang lebih relate dengan kehidupan mereka. Dengan pendekatan budaya populer, materi moderasi beragama yang terkesan berat dan sukar dicerna akan menjadi materi yang ringan, menarik dan tentunya mudah dipahami oleh kelompok muda milenial yang awam akan pengetahuan agama.

This post was last modified on 5 April 2021 12:48 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago