Narasi

Kejahatan Terbesar adalah Kejahatan Bertopeng Agama

“ Tidak ada kejahatan yang paling saya benci selain kejahatan mengatasnamakan agama” begitulah kira-kira penegasan tegas) R Ahmad Nurwahid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Dalam satu kegiatan Sharing Session Kontributor Jalan Damai secara virtual (3/3/21). Rasanya penegasan itu menghujam batin saya dengan sekian pertanyaan. Apakah memang ada kejahatan yang mengatasnamakan agama?

Saya mengajak diskusi teman saya dengan satu pertanyaan tentang kejahatan. Saya memulai dengan pertanyaan dengan nada kritis mana yang lebih besar kejahatan korupsi atau terorisme? Bukankah korupsi juga kejahatan luar biasa yang memberikan dampak besar bagi rusaknya bangsa dan kesejahteraan masyarakat?

Teman saya menjawab keduanya memang sama-sama kejahatan kemanusiaan luar biasa yang berdampak kepada kehidupan kemanusiaan. Namun, ingat! Koruptor menyadari itu sebagai kejahatan, berbeda dengan teroris yang menyadari tindakannya sebagai kebenaran atas nama agama. Teroris memaknai tindakan kejahatannya yang memakan korban sebagai bagian dari tugas suci agama.

Nah, Saya terhenyak mendengar jawaban tersebut. Ternyata kejahatan yang mengatasnamakan agama bukan hanya merusak tatanan sosial suatu bangsa, tetapi secara nyata merusak mental dan ideologi yang membenarkan tindakan kekerasan atas nama agama. Bagaimana agama yang mengajarkan kedamaian diekspresikan dengan kekerasan? Bagaimana mungkin agama yang menghormati nyawa justru dengan mudah menjadi alat pembenaran untuk menghilangkan nyawa manusia? Dan mana mungkin agama dengan ajaran yang suci justru diekspresikan dengan perilaku yang keji.

Sejarah membuktikan agama kerap menjadi alat dan topeng kepentingan politik di semua agama di dunia ini. Kejahatan terbesar dari tragedi kemanusiaan lahir dari bencana yang mengatasnamakan agama. Bukan agama itu sendiri yang mengajarkan tragedi, tetapi kerap kali umat beragama menafsirkan sempit atau sengaja menjadikan agama sebagai alat pembenaran.

Menghindari Manipulasi Agama

Kejahatan kemanusiaan yang mengatasnamakan agama sejatinya kejahatan yang merusak agama itu sendiri. Mereka kelompok radikal selalu memanipulasi agama untuk kepentingan politiknya. Agama dijadikan topeng bahkan senjata untuk merusak tatanan sosial yang ada.

Pertanyaan berikutnya yang masih membingungkan mungkinkah ada dimensi agama yang rentan dijadikan pembenaran? Apakah memang ada ajaran agama yang potensial dimanipulasi untuk kepentingan politik?

Agama memiliki dua dimensi penting yang semestinya tidak boleh dipertentangkan dan dihilangkan. Dua aspek tersebut : aspek formal dan subtansial, aspek sosial dan spiritual. Ketika agama hanya ditampilkan dan dikuatkan dalam bentuk formal ia akan menghilangkan aspek subtansialnya. Begitu pula sebaliknya. Agama juga mempunyai dimensi sosial yang tidak bisa dihilangkan dengan hanya bertumpu pada aspek spiritual.

Menyeimbangkan antara dua hal ini adalah bagian dari cara beragama yang moderat. Islam mengajarkan umatnya untuk tidak berlebihan pada aspek formal atau subtansial, begitu pula dalam aspek sosial dan spiritual. Ketika individu atau kelompok beragama jatuh dalam sikap berlebihan akan jatuh pula dalam tindakan yang sering mengatasnamakan agama.

Kelompok radikal yang mengatasnamakan agama melakukan kejahatan kemanusiaan atas nama agama karena mereka hanya mementingkan aspek formal bukan subtansi agama. Mereka merasa penting berpenampilan agamis, tetapi tidak bersikap relijius. Mereka mementingkan berdirinya negara yang formal atas nama agama, walaupun tidak mencerminkan kemashlahatan bersama sebagaimana tujuan agama itu sendiri.

Karena itulah, menghindari manipulasi agama umat beragama harus kembali dalam posisi yang sudah dipuji oleh Tuhan, yakni ummatan washatan. Umat agama yang berdiri di tengah antara arus formalism dan subtansialisme. Tidak ada klaim yang bisa diterima dengan dalil manapun yang menghilangkan nyawa mereka tidak bersalah atas nama agama. Tidak dalil agama manapun yang membenarkan tindakan teror atas nama agama.

Terorisme dan radikalisme adalah musuh agama karena sebagai fitnah bagi agama dan musuh negara karena menjadi ancaman keutuhan bangsa. Selamatkan agama dan bangsa ini dari individu dan kelompok yang selalu mempolitisasi agama demi kepentingan mereka.

This post was last modified on 4 Maret 2021 1:32 PM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Pesta Rakyat dan Tafsir Lokalitas dalam Menjaga Imajinasi Kolektif Satu Bangsa

Setiap bulan Agustus, bangsa Indonesia seolah menemukan denyut kebersamaannya kembali. Dari istana hingga gang sempit…

3 hari ago

Sangkan-Paran, Ingsun, dan Kedaulatan

Tentang arti dari sebuah kedaulatan, barangkali Sri Sultan Hamengku Buwana I adalah salah satu sosok…

3 hari ago

Ekspresi Pengorbanan dan Cinta Tanah Air dalam Perayaan Kemerdekaan

Pesta rakyat merupakan sebuah ekspresi komunal yang tak hanya menandai perayaan, tetapi juga mencerminkan wujud…

3 hari ago

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

4 hari ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

4 hari ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

4 hari ago