Narasi

Kenapa Perempuan Menjadi Target Radikalisasi

Radikalisasi adalah proses di mana seseorang menjadi ekstrem dalam pandangan politik, sosial, atau keagamaan, hingga pada akhirnya mendukung atau terlibat dalam tindakan kekerasan. Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena radikalisasi telah menjadi perhatian global, terutama dengan meningkatnya keterlibatan perempuan dalam gerakan-gerakan radikal dan terorisme. Perempuan yang secara tradisional dianggap sebagai pelaku pasif dalam konflik, kini mulai dipengaruhi oleh narasi ekstremis dan dilibatkan dalam aktivitas terorisme. Pertanyaannya, mengapa perempuan menjadi target radikalisasi?

Secara historis, peran perempuan dalam gerakan radikal atau ekstremis sering kali diabaikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan yang signifikan dalam partisipasi perempuan di kelompok-kelompok radikal, termasuk kelompok teroris seperti ISIS dan Al-Qaeda. Perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai pendukung di balik layar, tetapi juga sebagai aktor aktif yang terlibat dalam tindakan kekerasan, baik sebagai pelaku serangan maupun perekrut.

Fenomena ini mencerminkan adanya pergeseran dalam strategi kelompok-kelompok radikal, yang mulai melihat potensi besar dalam merekrut perempuan. Kelompok radikal memahami bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam memperluas pengaruh ideologi mereka, baik melalui pendidikan anak-anak, memperluas jaringan komunitas, atau bahkan melalui partisipasi langsung dalam operasi kekerasan.

Alasan Perempuan Menjadi Target Radikalisasi

Ada beberapa alasan mengapa perempuan menjadi target utama radikalisasi, di antaranya:

  1. Pemanfaatan Peran Tradisional
    Salah satu cara kelompok radikal menarik perempuan adalah dengan memanfaatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu, istri, dan pengasuh. Mereka menekankan pentingnya peran perempuan dalam membentuk generasi penerus yang setia pada ideologi kelompok tersebut. Dengan menargetkan perempuan, kelompok radikal berharap dapat memperkuat pengaruh ideologi mereka melalui keluarga. Perempuan yang telah teradikalisasi sering kali mengajarkan nilai-nilai ekstrem kepada anak-anak mereka, menciptakan siklus radikalisasi yang berkelanjutan dalam satu keluarga.
  2. Penggunaan Dalil Agama
    Dalam banyak kasus, dalil agama digunakan untuk membenarkan peran perempuan dalam gerakan radikal. Kelompok-kelompok radikal sering memanipulasi ajaran agama untuk menarik perempuan. Mereka mempromosikan narasi bahwa perempuan yang bergabung dalam jihad atau perjuangan ideologis lainnya akan mendapatkan pahala yang besar dan diakui di hadapan Tuhan. Ini menjadi daya tarik kuat bagi perempuan yang memiliki pemahaman agama yang dangkal atau merasa tertindas dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Eksploitasi Rasa Ketidakadilan
    Perempuan yang merasa hidupnya dipenuhi ketidakadilan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik, sering kali menjadi sasaran empuk bagi kelompok radikal. Kelompok ini menawarkan jalan keluar dari ketidakadilan yang mereka rasakan, dengan memberikan janji kehidupan yang lebih baik di bawah pemerintahan atau sistem yang ekstremis. Perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam kehidupan pribadinya, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, atau diskriminasi, bisa merasa bahwa gerakan radikal menawarkan pelarian atau peran yang lebih berarti.
  4. Rasa Pengakuan dan Identitas
    Perempuan, seperti halnya laki-laki, sering kali mencari rasa pengakuan dan identitas. Dalam masyarakat di mana perempuan mungkin merasa diabaikan atau tidak dihargai, kelompok radikal menawarkan mereka peran penting dan pengakuan dalam perjuangan ideologis. Bergabung dengan kelompok radikal memberikan rasa memiliki komunitas, tujuan, dan identitas yang kuat. Dalam kelompok ini, perempuan mungkin merasa bahwa mereka memainkan peran yang signifikan dalam “perjuangan suci” atau revolusi yang lebih besar.
  5. Eksploitasi Emosional dan Psikologis
    Kelompok radikal juga sering mengeksploitasi emosi perempuan, terutama mereka yang mengalami trauma atau kehilangan. Dalam banyak kasus, perempuan yang baru saja kehilangan anggota keluarga akibat konflik atau kekerasan lebih rentan terhadap radikalisasi. Kelompok radikal menggunakan retorika yang membangkitkan emosi, seperti balas dendam atau perlindungan terhadap keluarga dan komunitas, untuk menarik perempuan masuk dalam gerakan mereka.

Strategi Rekrutmen Khusus Perempuan

Kelompok-kelompok radikal memahami bahwa perempuan memiliki peran yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki, sehingga mereka menciptakan strategi rekrutmen yang khusus untuk perempuan. Rekrutmen ini sering kali dilakukan melalui media sosial, di mana narasi yang menyentuh emosi perempuan seperti peran sebagai ibu, istri yang setia, dan pengasuh komunitas digunakan untuk menarik mereka.

Media sosial memungkinkan kelompok radikal menyebarkan propaganda secara luas, dengan pesan yang disesuaikan untuk mempengaruhi perempuan. Mereka menggunakan video, gambar, dan cerita-cerita yang menggambarkan perempuan sebagai pahlawan yang mendukung “perjuangan suci.” Propaganda ini sering kali berfokus pada peran perempuan sebagai pembangun masa depan generasi yang radikal, atau sebagai pilar penting dalam struktur komunitas radikal.

Bahaya Radikalisasi Perempuan

Radikalisasi perempuan memiliki dampak yang luas dan merusak, baik di tingkat individu maupun masyarakat. Perempuan yang teradikalisasi dapat memengaruhi keluarga dan komunitas mereka secara signifikan, terutama dalam hal mengajarkan ideologi ekstrem kepada anak-anak. Selain itu, perempuan yang terlibat dalam gerakan radikal juga dapat digunakan sebagai pelaku serangan teroris, termasuk menjadi pelaku bom bunuh diri.

Lebih jauh, radikalisasi perempuan merusak konsep kesetaraan gender yang telah diperjuangkan di banyak negara. Alih-alih memberdayakan perempuan, kelompok radikal justru memanfaatkan mereka untuk tujuan kekerasan dan kekuasaan politik.

Perempuan menjadi target radikalisasi karena peran mereka yang dianggap strategis dalam memperluas dan memperkuat ideologi radikal. Kelompok-kelompok radikal menggunakan berbagai taktik, mulai dari manipulasi agama hingga eksploitasi rasa ketidakadilan, untuk menarik perempuan bergabung. Penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memahami fenomena ini dan mengambil langkah preventif melalui pendidikan, pemberdayaan perempuan, serta dialog terbuka untuk mencegah radikalisasi dan menjaga kesatuan sosial.

This post was last modified on 30 September 2024 2:53 PM

Setya

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago