Sejak mulanya, harapan akan demokrasi yang berkembang di era pemerintahan Jokowi adalah demokrasi yang mampu memberi pengakuan dan ruang bagi unsur-unsur masyarakat yang memang sudah jengah dengan segala agenda modernisme, yang kondang dengan ukurannya yang tunggal: masyarakat desa, masyarakat adat, masyarakat religius, kaum perempuan, dsb.
Meskipun pada kenyatannya tuntutan-tututan zaman itu belum sepenuhnya terwujud, namun setidaknya, secara regulatif, pemerintah di era Jokowi sudah memberikan berbagai pengakuan dan ruang bagi komunitas-komunitas yang sempat terpinggirkan oleh modernisme. Lahirnya berbagai UU, yang jelas-jelas memberikan payung hukum bagi komunitas-komunitas yang jauh dari perhatian modernisme, adalah warisan positif yang memang sesuai dengan kondisi Indonesia yang plural, yang tak mungkin dirangkum dengan sebatas kosa kata ideologi-ideologi modern.
Dalam hal ini, Indonesia memang lambat dalam memahami perkembangan ideologi yang terkungkung oleh segala konteks yang mengitarinya. Di Barat, sebenarnya modernisme itu sudah tamat sejak dekade 60-an. Kehendak umum, yang dalam teori kontrak sosial mendasari terbentuknya sebuah negara, sudah bukan lagi menjadi prinsip utama masyarakat kontemporer. Bisakah kehendak masyarakat adat, sebagai misal, disamaratakan dengan kehendak masyarakat religius atau santri, atau kehendak masyarakat desa disamaratakan dengan kehendak masyarakat kota?
Secara politis, dengan terpilihnya Jokowi atau, sebagaimana yang banyak dikatakan orang, Prabowo sebagai sang suksesor, modernisme jelas-jelas bukan lagi sebuah pilihan. Pancasila, sebagai ideologi Indonesia, memang terumuskan di era modern. Namun, siapa pun tahu bahwa ia merupakan warisan yang lahir dari rahim kebudayaan sendiri. Dan, dalam kasus ini, keberhasilan kepemimpinan Jokowi bukan semata, dengan sendirinya, memper-“tobat”-kan golongan yang berupaya mengenyahkan Pancasila. Namun, dengan berbagai produk UU yang memayungi berbagai unsur masyarakat, keberhasilannya adalah juga bagaimana kemudian mengolah keberagaman yang merupakan modal sosial-budaya bangsa Indonesia.
Tafsir dan praksis dari ideologi seperti itulah yang mestinya dikembangkan lebih jauh lagi oleh kepemimpinan baru: bagaimana sebuah ideologi itu tak terkesan menakutkan atau mengancam (sebagaimana di era modern), namun sanggup memberikan rasa aman untuk tumbuh dan berkembang. Bukankah ketahanan ideologis terbukti tak membutuhkan hardikan untuk sekedar menjadi suluh dalam berjalan? Adakah “perkawinan” ideologis bangsa Indonesia di akhir pemerintahan Jokowi terjadi karena hardikan, paksaan, dan ancaman?
This post was last modified on 30 Oktober 2024 12:54 PM
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…
Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…
Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…
Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…
Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…
Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…