Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan persaudaraan universal tanpa batas etnis, bangsa, atau agama. Narasi ini tampak indah dan menjanjikan perdamaian dunia. Namun, di balik slogan harmonis itu, tersembunyi paradoks yang menuntut refleksi kritis: apakah ukhuwah global benar-benar menyatukan, atau justru menjadi ilusi yang halus memecah belah identitas dan solidaritas autentik di akar rumput?
Konsep ukhuwah global sering dipromosikan oleh lembaga internasional, korporasi global, atau aktor politik yang mengklaim memperjuangkan kemanusiaan universal. Akan tetapi, dalam praktiknya, konsep ini kerap dijadikan alat legitimasi untuk mengatur narasi dan kepentingan global tertentu. Semboyan “persaudaraan dunia” menjadi komoditas politik yang membungkus hegemoni budaya dan ekonomi. Akibatnya, nilai-nilai lokal dan kearifan komunitas sering kali terpinggirkan atas nama globalisasi dan universalitas.
Ketika wacana ukhuwah global didorong tanpa kesadaran kritis, individu dan komunitas bisa kehilangan pijakan identitasnya. Solidaritas yang semula kuat di tingkat nasional, keagamaan, atau budaya melemah, tergantikan oleh rasa keterikatan semu pada komunitas global yang abstrak dan tak berakar. Ironisnya, dalam situasi konflik atau ketidakadilan, “saudara global” yang diharapkan justru absen, sementara solidaritas lokal yang nyata terpecah karena perbedaan ideologis atau tekanan eksternal.
Di era media digital, ukhuwah global sering direpresentasikan melalui kampanye daring dan media sosial. Namun, di ruang yang sama, algoritma justru memperkuat echo chamber dan polarisasi identitas. Dengan dalih mempererat persaudaraan lintas bangsa, banyak narasi justru membentuk loyalitas sempit pada kelompok tertentu—baik berbasis agama, politik, atau ideologi—yang kemudian menimbulkan segregasi baru. Maka, ukhuwah global berubah menjadi paradoks: mengajak untuk bersatu, tapi menciptakan sekat yang lebih halus.
Ilusi ukhuwah global sering meninabobokan kesadaran kolektif, membuat umat manusia merasa telah bersatu padahal sedang tercerai-berai oleh kepentingan yang tak kasat mata. Membongkar ilusi ini bukan berarti menolak gagasan persaudaraan dunia, melainkan menuntut bentuk ukhuwah yang lebih jujur, berakar, dan adil. Hanya dengan demikian, persaudaraan global tidak lagi menjadi topeng bagi dominasi, melainkan jembatan sejati bagi kemanusiaan yang utuh.
Pentingnya kompromi pancasila sebagai ideologi pemersatu dan kebanggaan kedaerahan sebagai ekspresi identitas menjadi benteng paling kokoh untuk menjaga persatuan Indonesia di tengah arus globalisasi dan politik identitas. Mengapa? Karena Pancasila bukanlah hasil tunggal dari satu golongan, melainkan hasil kompromi sejarah antara berbagai pandangan ideologis pada masa perumusan dasar negara.
Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial merupakan titik temu yang menyatukan berbagai kepentingan suku, agama, dan kelompok sosial. Pancasila dengan demikian adalah rumus kompromi luhur, yang memungkinkan keberagaman hidup berdampingan tanpa kehilangan arah kebangsaan. Dalam konteks kekinian, Pancasila perlu terus dimaknai sebagai ruang dialog dan kesepahaman, bukan doktrin kaku. Ia adalah panduan hidup bersama yang menghargai perbedaan, bukan alat untuk menyeragamkan.
Kebanggaan kedaerahan bukan ancaman bagi persatuan, melainkan fondasi bagi lahirnya rasa memiliki terhadap Indonesia. Budaya daerah, bahasa lokal, dan tradisi komunitas memberi warna khas yang memperkaya identitas nasional. Tanpa kebanggaan terhadap asal-usul, nasionalisme akan menjadi konsep abstrak yang kehilangan daya hidup.
Sayangnya, dalam banyak kasus, kebanggaan kedaerahan justru sering dicurigai sebagai benih disintegrasi. Padahal, bila diarahkan dengan benar, semangat daerah justru menjadi energi sosial untuk membangun bangsa dari akar rumput. Misalnya, ketika masyarakat lokal menjaga tradisi gotong royong, melestarikan bahasa daerah, dan mengembangkan potensi ekonomi berbasis budaya, mereka sedang memperkuat sendi-sendi nasionalisme sejati.
Hubungan antara Pancasila dan kebanggaan kedaerahan bukanlah hubungan oposisi, melainkan dialektika yang saling melengkapi. Pancasila memberikan kerangka nilai universal agar identitas daerah tidak eksklusif, sementara kebanggaan kedaerahan memberi jiwa dan warna pada pelaksanaan nilai-nilai Pancasila.
Keduanya harus saling menjaga keseimbangan. Tanpa Pancasila, kebanggaan kedaerahan bisa berubah menjadi fanatisme sempit. Tanpa kebanggaan daerah, Pancasila kehilangan daya hidup dan akar budaya. Maka, keseimbangan ini adalah bentuk nyata nasionalisme Indonesia: nasionalisme yang tidak meniadakan lokalitas, dan lokalitas yang tidak meniadakan nasionalisme.
Era globalisasi membawa peluang sekaligus tantangan. Identitas lokal sering tergerus oleh budaya populer global, sementara di sisi lain muncul gerakan politik identitas yang memperuncing perbedaan. Dalam kondisi ini, rumus kompromi Pancasila menjadi semakin relevan: ia menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu menolak globalisasi, tapi harus menegosiasikannya dengan akar budayanya sendiri.
Pancasila menjadi alat navigasi moral, sedangkan kebanggaan kedaerahan menjadi jangkar yang menjaga keotentikan bangsa di tengah pusaran dunia yang serba cepat dan cair. Karenanya, Persaudaraan sejati bukanlah produk slogan atau kampanye, melainkan hasil dari kesadaran kritis dan empati yang tumbuh dari pengalaman konkret hidup bersama.
Ukhuwah yang autentik berangkat dari pengakuan atas perbedaan, penghargaan terhadap martabat manusia, dan keadilan sosial yang nyata—bukan dari penyeragaman nilai global yang dipaksakan. Membangun ukhuwah sejati berarti memperkuat solidaritas lokal terlebih dahulu: keluarga, komunitas, bangsa, baru kemudian menjalin harmoni global dengan pijakan yang kokoh.
Kompromi Pancasila dan kebanggaan kedaerahan adalah bentuk kearifan politik dan kebudayaan bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan strategi kebangsaan yang harus terus diperbarui dalam setiap generasi. Ketika masyarakat mampu mencintai daerahnya tanpa kehilangan cinta pada tanah air, maka di sanalah benteng persatuan berdiri teguh. Pancasila memberi arah, kebanggaan daerah memberi akar—dan keduanya menjadi dua sisi dari satu kekuatan: Indonesia yang bersatu dalam keberagaman.
Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…
Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…
Zaman disrupsi telah menjadi babak baru dalam perjalanan umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat,…
Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar agung para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara…
Pernah pada suatu masa, mobilitas dan militansi orang tak pernah ditentukan oleh otoritas-otoritas agung, nama-nama…
Di peringatan Hari Sumpah Pemuda, Alvara Institute merilis whitepaper hasil riset terhadap generasi Z. Riset…