Narasi

Keselarasan Islam dan Kebudayaan Lokal

Kehadiran agama dalam kehidupan manusia untuk mengentaskan seseorang ke etika kehidupan yang saling menghargai dan menghormati dalam naungan ketauhidan. Agama menjadi seseorang menjadi pribadi yang tidak mudah marah ketika pendapatnya berbeda satu sama lain. Terlebih agama Islam yang memiliki tafsir beragam dalam perjalanan sampai saat ini.

Ironinya, beberapa kalangan menjadikan agama sebagai alam untuk menakuti orang-orang yang di sekitarnya. Bahkan, mereka secara terang-terangan menggunakan nama agama demi mewujudkan ketakutan-ketakutan tersebut, hingga akhirnya mereka mengaburkan fungsi utama kehadiran agama. Mereka menampak agama sebagai sebuah kekerasan, bukan sebuah perubahan akhlak.

Bila agama sebagai kekerasan maka orang yang melakukan kekerasan atas nama agama kurang tepat dalam memahaminya. Seperti yang diungkapkan Asghar Ali Engineer, pada pokoknya agama terdiri dari kepercayaan, dogma, tradisi, praktik dan ritual.  Ketika seseorang sudah menggunakan simbol keagamaan, mereka secara tidak langsung telah membawa nama agama tersebut –meskipun ini tidak bisa dibenarkan. Karena agama terletak pada nilai yang diajarkan, bukan pada simbolnya.

Orang beriman dilahirkan dalam sebuah tradisi agama mewarisi semuanya, mempercayai dan menganggap semua hal yang diwarisi sebagai inti yang tidak terpisahkan dari agama. Bagi mereka ini, ritual menjadikan sama pentingnya dan menyatu halnya nilai. Nah, saat ritual dikerjakan secara teratur, kadang nilai agama terabaikan, diperkosa ataupun dikerjakan sebagai simbol. Ini akan menjadi permasalahan dalam beragama.

Terdapat tren lain yang terhitung modern, agama dianggap sebagai ideologi. Dimulai dari kolonialisme abad ke 19, tren tersebut didorong memperlakukan agama tidak semata-mata sebagai keyakinan tetapi sebagai sebuah ideologi politik. Ideologi ini menurut agama menjadi bukan saja sebuah pengalaman spiritual tetapi juga sebagai sistem politik. Bagi mereka, sistem politik jumlah lebih penting ketimbang aspek spiritual agama.

Orang yang menganggap agama hanya terletak pada simbol, tidak melihat secara nilai akan mudah mengafirkan dan menuduh orang lain sesat dalam memahami agama. Bahkan mereka akan memahami suatu agama, harus sama dengan simbol yang dilahirkan pada masa orang yang membawa ajarannya. Mereka melupakan maknainti ajaran agama dan kebudayaan yang ada.

Menelisik lebih dalam mengenai ajaran agama secara mendalam, ajaran agama merupakan ajaran yang sangat menghargai kebudayaan yang ada setiap kelompok manusia yang ada. Bahkan, nilai-nilai ajaran agama bisa dimasukkan dalam kebudayaan yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat memahami agama tetapi tidak tercerabut dari kebudayaan yang ada. Hal ini secara nyata dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga selama mengamalkan dan mendakwahkan ajaran Islam di nusantara.

Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan cara yang “up to date”, paling mutakhir waktu itu, “nut jama kelakone” (menurut semangat zaman), seperti kata KI Dalang Narto Sabdo atau “Zeiteist”, kata orang Jerman. Sunan Kalijaga memperkenalkan Islam selapis demi selapis melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal (lokal wisdoms) Jawa yang waktu itu masih didominasi oleh agama Syiwa-Budha.

Dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Kalijaga menyerap semangat kultural masyarakat Jawa yang masih dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Untuk mengajak masyarakat masuk Islam, Sunan Kalijaga memilih jalur kebudayaan dan kesenian sebagai media dan sarana dakwah sehingga cepat menyerap dan diterima secara hangat oleh masyarakat pada zamannya.

Sunan Kalijaga menjadi teladan terbaik dalam penyesuaian Islam dengan budaya lokal, berdasarkan prinsip mempertahankan yang lama dan baik, serta mengambil yang baru dengan lebih baik (Anif Arifani: 2010) sehingga ajaran Islam masuk ke dalam struktur berpikir masyarakat secara halus dan secara perlahan menghilangkan tradisi masyarakat yang bertentangan dengan syariat Islam. Dakwah Sunan Kalijaga banyak sekali mendapatkan pengikut dari kalangan masyarakat menengah ke bawah (rakyat jelata).

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

1 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

1 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

1 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

2 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

2 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

2 hari ago