Narasi

Khilafah Bukanlah Solusi Konflik Palestina-Israel!

Setiap kali konflik Palestina-Israel memanas, selalu ada saja narasi yang sengaja diumbar di media sosial bahwa khilafah adalah solusi bagi konflik Palestina-Israel. Seolah-olah, jika khilafah ditegakkan, permasalahan lama kedua negara itu selesai dengan mudahnya.

Mengapa Palestina tidak merdeka? Kata mereka, sebab umat Islam tidak bersatu. Mengapa umat Islam tidak bersatu? Sebab, tidak ada pemerintahan yang tersentral yang menaungi seluruh kekuatan umat Islam. Pemerintahan terpusat dan umat Islam bersatu dalam satu wadah, –lagi-lagi menurut mereka, tidak lain hanya dengan khilafah.

Narasi yang mereka bangun bahwa dunia banyak konflik karena manusia sudah meninggalkan khilafah. Dunia perang dan banyak terjadi permusuhan sebab dunia benci khilafah. Pendek kata, apapun masalahnya, solusi satu-satunya (dan hanya itu, tidak ada yang lain) –adalah khilafah.

Yang luput dari pantau mereka –dan ini yang mereka tidak sadari, bahwa masalah Israel dan Palestina itu adalah masalah kompleks, yang tidak bisa didekati dengan pendekatan hitam-putih dan salah-benar. Pendekatan reduksionis-emosional justru memperrunyam masalah dan mengaburkan masalah yang sebenarnya.

Sayangnya, justru ini yang dilakukan oleh kaum khilafais itu. Yang salah adalah Israel, yang benar adalah Palestina. Siapa yang tidak berpihak dan mendukung palestina dicap sebagai Antek-Yahudi, pendukung zionis, dan anti terhadap Islam.

Jika masalah Israel-Palestina adalah masalah yang kompleks, maka menawarkan dan menarasikan khilafah sebagai solusi justru menimbulkan masalah baru, dan justru meperlebar masalah itu sendiri.

Konflik Palestina-Israel tidaklah sesederhana yang dibayang oleh kaum khilafais itu. Masalah Palestina-Israel adalah masalah kompleks yang harus dilihat dengan cara pandang yang kompleks pula. Cara pandang kompleks yang dimaksud di sini adalah memandang masalah itu dengan tidak memojokkan salah satu pihak untuk meninggikan pihak lain. Kedua belah pihak harus didudukkan secara objektif dan proporsional.

Tidak mungkin ada perdamaian jika hanya memilihat dan meninggikan satu pihak saja sembari memojokkan dan menutup mata terhadap pihak lain. Cara pandang proporsional inilah yang pernah diutarakan oleh Gus Dur ketika melihat masalah Israel-Palestina. Sebab, menafikan salah satu pihak itu sama saja dengan omong kosong. Dan itu mustahil.

Baik pihak Israel maupun pihak Palestina sama-sama ada salahnya dan sama-sama ada benarnya. Keduanya mempunyai sisi positif dan negatif sekaligus. Jika digunakan perfektif Hak Asasi Manusia (HAM), Israel memang salah besar dan mereka sudah melanggar HAM dengan membuat orang yang tak bersalah dan anak-anak menjadi korban, tetapi harus dicatat juga Hamas pun melakukan hal yang sama, yakni mereka juga sudah melanggar HAM yang menyebabkan orang lain meninggal.

Oleh sebab itu cara pandang kemanusian adalah cara pandang yang lebih proporsional dan lebih adil. Siapa pun yang melanggar kemanusian –baik itu sama agamanya dengan kita atau tidak –maka ia layak dihukum. Mencedarai kemanusiaan, melanggar hak-hak dasar yang ada pada manusia, membunuh pihak yang tidak bersalah, siapa pun itu maka layak dikutuk dan dihukum.

Bukan berarti karena dia sama agamanya dengan kita lantas dibela mati-matian meskipun sebenarnya mereka melakukan hal sama dengan pihak yang yang kita kutuk. Kutuklah kebejatan, keserakahan, dan kebengisan itu atas dasar kemanusiaan, bukan atas dasar agama atau ideologi politik kelompok.

Cara pandang kemanusian adalah cara pendang yang lebih bijak. Sebab, kita memperlakukan manusia sama dan setara. Tidak membeda-bedakan apalagi memuji satu pihak sembari mencela pihak lain. Cara pandang dan narasi sektarian harus kita tinggalkan. Cara pandang ala pengusng khilafah harus ditinggalkan. Itu adalah cara pandang dan narasi sektarian, yang hanya mau melihat masalah dengan kacamata kelompoknya saja.

Khilafah seperti yang digembor-gemborkan para pengusungnya tidak akan pernah jadi solusi, justru sebaliknya, ia akan menjadi masalah baru yang justru menambah masalah yang sudah ada.

This post was last modified on 16 Oktober 2023 12:05 PM

Abdul Rahman Harahap

Recent Posts

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

5 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

5 hari ago

“Multikulturalitas vis-à-vis Syariat”, Studi Kasus Perusakan Makam

Anak-anak tampak menjadi target prioritas kelompok radikal teroris untuk mewariskan doktrin ekstrem mereka. Situasi ini…

5 hari ago

Bertauhid di Negara Pancasila: Menjawab Narasi Radikal tentang Syariat dan Negara

Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…

6 hari ago

Penangkapan Remaja Terafiliasi ISIS di Gowa : Bukti Nyata Ancaman Radikalisme Digital di Kalangan Generasi Muda

Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…

6 hari ago

Jalan Terang Syariat Islam di Era Negara Bangsa

Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…

6 hari ago