Pandemi Covid-19 yang berjalan lebih dari setahun telah melahirkan persoalan multidimensi yang kompleks. Ancaman Covid-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan publik (public health). Lebih dari itu, pandemi juga melahirkan persoalan sosial, ekonomi, politik dan keagamaan. Kondisi itu membuat dunia berada dalam situasi dilematis.
Di satu sisi, rantai penularan virus corona hanya bisa diputus dengan pembatasan sosial. Di sisi lain, pembatasan sosial berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, banyak masyarakat yang mengalami kesulitan finansial. Maka, kunci mengendalikan pandemi ialah mengimplementasikan langkah moderat. Yakni mencari titik tengah antara kepentingan keselamatan masyarakat dan kepentingan ekonomi nasional. Kepentingan menjaga kesehatan masyarakat merupakan prioritas di masa pandemi. Namun, ketahanan ekonomi juga patut diperhatikan. Tersebab, gejolak ekonomi bisa berpengaruh pada dimensi kehidupan yang lebih luas, termasuk ranah sosial-politik.
Sejarah membuktikan, gejolak ekonomi bisa menimbulkan efek domino pada terjadinya kekacauan sosial maupun politik. Dalam situasi ekonomi yang serba tidak pasti, masyarakat begitu mudah diprovokasi oleh segelintir kalangan untuk melakukan pembangkangan terhadap pemerintah. Gejala inilah yang tampak dalam kurun waktu beberapa hari terakhir. Di tengah puncak gelombang kedua pandemi, muncul sebaran berisi hasutan dan provokasi untuk membangkang pada pemerintah.
Oposisi Destruktif
Di Jakarta, muncul pesan berantai yang berisi provokasi untuk melakukan aksi demonstrasi bertajuk “Jokowi End Game” pada tanggal 24 Juli. Provokasi itu jelas merupakan upaya subversif dengan menunggangi isu pandemi. Beruntung, sebaran provokasi melalui media sosial itu tidak lebih dari hoaks belaka. Buktinya, tidak ada aksi massa pada tanggal 24 Juli. Meski demikian, sebaran provokasi ini kadung membuat suasana bertambah tidak kondusif.
Tidak hanya itu, di sejumlah kota, muncul provokasi serupa untuk menentang kebijakan PPKM Darurat (level 3-4). Isu yang diangkat ialah PPKM Darurat telah menimbulkan dampak buruk bagi kondisi ekonomi, utamanya kalangan masyarakat bawah. Tidak semua aksi menentang PPKM Darurat itu murni menyuarakan kepentingan publik. Sebagian di antaranya justru kental dengan kepentingan politik; yakni menciptakan situasi kacau (chaos) dan mendelegitimasi kepercayaan publik pada pemerintah.
Jika diamati, gerakan menentang kebijakan PPKM Darurat dan provokasi melawan pemerintahan yang sah ini merupakan satu bagian dari skenario untuk mempolitisasi isu pandemi. Di media sosial misalnya, muncul upaya memprovokasi publik secara masif dan sistematis. Amatan aplikasi Drone Emprit menunjukkan bahwa sejak pandemi, provokasi pembangkangan pada pemerintah muncul setiap minggu dengan tanda pagar yang berbeda-beda. Semua berasal dari satu klaster, yakni akun-akun yang berfafiliasi dengan kelompok oposisi destruktif.
Kerja Kolaboratif
Sejak pemerintah memberlakukan pembatasan sosial untuk mengendalikan pandemi, memang muncul upaya untuk mempolitisasi kebijakan tersebut. Beragam narasi dimunculkan, mulai dari tudingan bahwa pemerintah lebih mementingkan aspek ekonomi ketimabang kesehatan. Sampai tudingan pemerintah menghalangi umat beragama dalam beribadah. Kini, upaya politisasi itu telah bereskalasi menjadi tindakan provokasi yakni menghasut publik untuk membangkan pada (aturan) pemerintah.
Di titik inilah, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan untuk menangkal segala bentuk upaya politisasi apalagi provokasi yang menunggangi isu pandemi. Jangan sampai, pandemi menjadi pintu masuk bagi para penumpang gelap untuk menimbulkan kekacauan sosial-politik. Wabah Covid-19 ialah bencana kemanusiaan yang harus dihadapi dengan kebersamaan dan partisipasi semua elemen masyarakat. Kunci mengendalikan pandemi ada pada kesadaran semua pihak untuk mematuhi kebijakan dan aturan pemerintah.
Di dunia maya, kita perlu berperan aktif menangkal setiap narasi provokatif yang diembuskan kelompok oposisi destruktif. Tagar-tagar provokatif harus dilawan dengan tagar-tagar yang berisi narasi positif. Di dunia nyata, kita perlu membangun jejaring solidaritas sosial untuk membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Kompleksitas persoalan pandemi tentu tidak bisa diatasi pemerintah saja. Diperlukan jejaring kolaborasi masyarakat sipil.
Inisiatif-inisiatif gerakan solidaritas kemanusiaan yang selama ini telah berjalan perlu dimasifkan dan diintensifkan. Dengan begitu, gejolak ekonomi akibat pembatasan sosial kiranya bisa diminimalisasi. Kerja-kerja kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat sipil inilah yang akan mengembalikan soliditas bangsa sehingga tidak mudah diprovokasi oleh para penumpang gelap.
This post was last modified on 26 Juli 2021 1:02 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…