Narasi

Komunitas Terbayang ala NKRI; Identitas Kebangsaan yang Melampaui Sekat Kesukuan dan Keagamaan

Perjalanan Indonesia tahun ini memasuki angka ke 78. Artinya tujuh dekade lebih NKRI eksis. Lantas, apa yang membuat bangsa ini masih bertahan hingga sekarang? Di tengah realitas sosial keagamaan yang majemuk? Wilayah yang luas dan terdiri atas ribuan pulau? Serta berbagai problem baik internal maupun eksternalnya?

Banyak pihak meragukan Indonesia akan bisa bertahan sebagai negara kesatuan. Banyak yang meramalkan Indonesia akan berakhir seperti Uni Soviet yang pecah berkeping-keping. Nyatanya, sampai hari ini, semua prediksi itu tidak lebih dari pepesan kosong belaka. Indonesia masih utuh sampai hari ini, lantaran kita disatukan oleh ikatan emosional dan psikologis yang sama.

Ikatan emosional dan psikologis itu secara konkret dapat dipahami sebagai perasaan saling memiliki satu sama lain. Seseorang bersuku Sunda yang tinggal di pulau Jawa dan beragama Islam, barangkali tidak kenal dengan individu bersuku Batak, yang tinggal di Pulau Sumatera, dan beragama Kristen. Namun, mereka sama-sama mengakui bahwa mereka menyandang identitas yang sama, yakni bangsa Indonesia.

Itulah konsep bangsa sebagaimana dijelaskan dalam teori imagined community yang didedah oleh Ben Anderson. Ben melihat kemunculan bangsa lebih banyak dilatari oleh faktor kesamaan historis, dan ikatan psikologis, ketimbang kesamaan identitas sosiologis. Sebuah bangsa, kata Ben adalah entitas dari sekumpulan manusia yang memiliki imajinasi yang sama, bahwa mereka saling terikat satu sama lain, meski berbeda etnis, warna kulit, bahasa, maupun agama.

Dalam amatan Ben, bangsa merupakan entitas politis, yang terbentuk oleh perkembangan bahasa dan mesin cetak. Pasca penemuan mesin cetak oleh Guttenberg, pikiran-pikiran tentang nasionalisme dan anti-kolonialisme lantas tersebar di seluruh dunia. Sejak saat itu, gelombang nasionalisme pun bermunculan di banyak wilayah dunia.

Jejak Nasionalisme Indonesia

Dalam konteks Indonesia alias NKRI, komunitas terbayang tentu tidak sekadar sebuah entitas politis, namun juga kultural dan sosial. Artinya, bangsa Indonesia tidak hanya disatukan oleh kepentingan politik, namun juga terikat oleh akar kebudayaan dan sosial yang kurang lebih sama. Jika dirunut ke belakang, masyarakat yang mendiami wilayah Indonesia saat ini dulunya adalah bagian dari wilayah Nusantara.

Inilah yang menarik dari konsep komunitas terbayang ala NKRI. Di awal terbentuknya negara ini, para pendiri bangsa, memiliki imajinasi akan sebuah negara bangsa yang menaungi seluruh entitas suku, etnis, agama, budaya, dan bahasa yang eksis di wilayah Indonesia. Imajinasi tentang bangsa yang melampuai sekat keagamaan itu sebenarnya telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka.

Momen Kongres Pemuda 2 adalah titik awal lahirnya nasionalisme secara konkret. Seperti diungkapkan Ben Anderson, bahwa unsur pokok pembentuk nasionalisme adalah bahasa. Di momen Kongres Pemuda 2 itu terucap Sumpah Pemuda yang mengakui Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Selanjutnya, di fase awal perumusan dasar dan bentuk negara, para pendiri bangsa juga berimajinasi tentang bentuk falsafah negara dan konstitusi yang menjadi titik temu antar-berbagai golongan agama dan suku yang ada di Indonesia.

Maka, terciptalah Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 dan Pancasila tidak lain merupakan jalan tengah yang mengakomodasi berbagai ideologi politik, ekonomi, dan keagamaan yang saat itu berkontestasi untuk menjadi yang paling dominan. Pancasila, secara eksplisit menjadi jembatan bagi eksistensi agama-agama yang berkembang di Indonesia. Sedangkan UUD 1945 merupakan jaminan konstitusional bahwa setiap individu diposisikan setara di muka hukum, terlepas dari identitas dan latar belakangnya.

Pendek kata, komunitas terbayang ala NKRI adalah entitas besar yang melampaui sekat keagamaan dan kesukuan, namun tanpa menghapus dua variabel tersebut. Maknanya, untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia, orang Jawa tidak lantas harus melepas identitas ke-Jawa-annya. Begitu juga seorang muslim tidak lantas dipaksa melepaskan kemuslimannya untuk menjadi bagian dari Indonesia.

Mengembalikan Komitmen Kebangsaan

Komunitas terbayang ala NKRI ini belakangan memang tengah diterpa beragam tantangan. Mencuatnya primordialisme kesukuan hingga fanatisme keagamaan kerap memicu lahirnya semacam krisis identitas kebangsaan. Ada anggapan bahwa untuk menjadi muslim yang kaffah, kita harus sepenuhnya mengadaptasi kultur dan gaya hidup ala Arab yang menjadi wilayah asal lahirnya Islam. Ada pula persepsi yang meyakini bahwa untuk menjadi muslim yang sempurna kita wajib meninggalkan budaya, adat-istiadat, dan kearifan lokal karena itu bertentangan dengan teks keagamaan.

Ada semacam upaya untuk mendekonstruksi komunitas terbayang ala NKRI itu dengan imajinasi baru yang kearab-araban dan anti-keindonesiaan. Maka, seperti kita lihat, kian banyak masyarakat yang menganggap NKRI sebagai negara kafir, Pancasila sebagai bidah, demokrasi dianggap sistem kufur, dan pemerintah dicap sebagai thaghut.

Persepsi yang demikian ini jelas mengancam struktur komunitas terbayang yang susah payah dibangun sejak era 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda) dan berlanjut hingga angkatan 1945 sampai sekarang.

Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-78 idealnya menjadi momentum untuk mengembalikan komitmen kebangsaan yang melampaui sekat keagamaan dan kesukuan. Ikatan emosional dan psikologis kita sebagai penerus kejayaan Nusantara jangan sampai terhapus oleh konstruksi identitas baru yang diciptakan oleh kelompok konservatif kanan.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago