Narasi

Konsolidasi Ulama, Umara dan Umat; Merevitalisasi Ormas Sebagai Pemersatu Bangsa

Ormas ialah bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Bahkan, ketika Republik Indonesia belum lahir, sejumlah ormas berlatar keagamaan dan kedaerahan telah mewarnai dinamika sosial-politik kita. Ormas juga berjasa memperjuangkan kemerdekaan, baik melalui jalur diplomasi maupun jalur konfrontasi. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ormas memiliki saham yang lumayan besar dalam kemerdekaan RI. Maka, patut disayangkan jika di era kemerdekaan khususnya era Reformasi ini justru muncul ormas-ormas yang bertendensi memecah-belah bangsa, gemar menebar propaganda provokasi dan memecah belah bangsa dengan berbagai narasi menyesatkan. Apalagi jika ormas tersebut mengatasnamakan diri sebagai “pembela Islam”.

Frase pembela Islam itu sebenarnya bisa dikatakan rancu. Dalam kaidah linguistik, istilah itu mengalami apa yang disebut sebagai contradictio in terminis, alias sudah kontradiktif sejak dalam istilah. Pembela Islam? Membela Islam dari apa dan siapa? Bukankah Islam sendiri sudah dijamin akan dijaga oleh Allah? Dalam konteks ini kita patut mengingat seloroh Gus Dur yang dengan tegas berkata, “Tuhan tidak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Bela lah mereka yang diperlakukan tidak adil”. Pernyataan Gus Dur ini relevan dalam konteks sekarang ketika banyak ormas keagamaan tampil ke permukaan dengan mengklaim diri sebagai pembela agama, tuhan dan penegak moralitas sosial.

Padahal, dalam kenyataannya mereka tidak lebih dari gerombolan pendompleng demokrasi yang memanfaatkan kebebasan ruang publik untuk mengadu-domba masyarakat dengan pemerintahnya serta membenturkan ulama dengan umara-nya. Sejalan dengan Gus Dur, Buya Syafi’i Maarif pernah dengan keras mengkritik ormas-ormas keagamaan berwatak arogan-intoleran itu sebagai “preman berjubah”. Mereka menggunakan agama sebagai kedok untuk menutupi tindakan-tindakannya yang melawan hukum dan meresahkan publik. Di titik ini, kita patut mendukung langkah pemerintah yang melarang FPI (Front Pembela Islam) yang selama ini dikenal sebagai dedengkot ormas intoleran dan kerap bertindak arogan.

Pelarangan FPI ialah langkah maju dalam upaya pemberantasan tindak intoleransi, radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Kita patut bangga pemerintah berkomitmen penuh menutup ruang gerak kaum ekstremis. Meski demikian, pelarangan FPI tidaklah merupakan akhir dari sebuah perjuangan. Seperti kita tahu, menumpas ideologi ekstremisme-radikalisme berbalut agama bukan hal mudah dan bisa dilakukan dengan instan. Dan, seperti dapat ditebak, FPI pun kini bertransformasi ke dalam kemasan yang baru, meski isinya tidak jauh berbeda. Maka dari itu, penting bagi umara, ulama dan umat pada umumnya untuk mengonsolidasikan tiga pilar penting bangsa, yakni ulama, umara dan umat untuk merevitalisasi ormas agar kembali ke esensi dasar (khittah)-nya sebagai alat pemersatu bangsa.

Bersatupadu Membendung Arus Intoleransi-Radikalisme yang Dimotori Ormas

Ulama dalam hal ini ialah sosok yang berilmu dan berwawasan agama luas serta memiliki modal sosial untuk membangun opini serta memobilisasi kekuatan massa. Dalam konstelasi sosial-keagamaan di Indonesia, ulama memiliki kedudukan yang sangat strategis. Mereka tidak hanya dianggap sebagai pemimpin spiritual, namun juga kerap didaulat sebagai “role model” dalam lingkup sosial-politik. Opini, pandangan dan fatwa ulama dalam isu-isu sosial dan politik selama ini terbukti efektif dalam membentuk kesadaran umat. Dengan modal intelektual dan sosial yang dimiliki, ulama idealnya mampu mendorong agar ormas-ormas keagamaan menjadi wadah pemersatu bangsa, bukan sebaliknya justru menjadi sarana memecah belah umat dan bangsa.

Banyaknya ormas keagamaan yang tumbuh di Indonesia idealnya tidak menambah friksi dan ketegangan antargolongan, namun seharusnya memperkaya khazanah keislaman di Tanah Air. Demikian pula, meski agenda ormas keagamaan memiliki perbedaan satu sama lain, kiranya hal itu tidak menyurutkan komitmen bersama untuk tetap menjunjung tinggi spirit kebangsaan dan kesetiaan pada NKRI serta Pancasila. Peran ulama dalam hal ini ialah menjadi semacam penuntun yang mengajak umat memasuki jalan keagamaan yang selaras dengan komitmen kebangsaan.

Sedangkan umara sebagai the decision maker alias pengambil kebijakan memiliki peran sentral dalam menjaga harmoni keberagamaan di Indonesia. Seperti kita tahu, Indonesia bukan negara agama namun juga bukan negara sekuler. Indonesia ialah negara beragama (relijius) dengan dasar ideologi Pancasila. Dalam konteks negara demokrasi Pancasila, agama tidak sepenuhnya menjadi urusan privat warganegara, lantaran pemerintah juga berkewajiban menyediakan fasilitas peribadatan sekaligus jaminan kebebasan dan keamanan dalam beribadah. Di saat yang sama, pemerintah juga berhak mengatur tata keberagamaan di ruang publik agar tercipta harmoni dan stabilitas sosial.

Dalam upaya menjaga harmoni dan stabilitas sosial itulah, negara berhak melarang atau membubarkan ormas yang memiliki rekam jejak buruk; intoleran, arogan dan memecah belah. Pelarangan ormas intoleran-radikal tidak bisa dipahami sebagai pencederaan nilai demokrasi atau pelanggaran HAM. Sebaliknya, pelarangan dan pembubaran ormas intoleran-radikal harus dipahami dan diletakkan dalam kerangka perlindungan terhadap demokrasi dan HAM dalam level yang lebih luas.

Terakhir, yakni umat atau dalam konteks Indonesia kontemporer ialah masyarakat sipil juga hendaknya berperan aktif menghalau keberadaan ormas intoleran. Dalam hal ini, umat hendaknya mengedepankan nalar rasional dan kritis dalam beragama di ruang publik sehingga tidak mudah termakan oleh provokasi atau propaganda ormas intoleran. Selama ini, ormas-ormas intoleran seperti FPI dan sejenisnya kerap mengumbar jargon bela agama, bela ulama, bela Islam dan lain sebagainya. Jargon itu dipacak dengan tujuan memoles gerakan oportunistiknya menjadi seolah-olah sebagi misi suci (sacred mission). Fatalnya, di tengah masyarakat yang tingkat literasi keagamaannya terbilang rendah, jargon-jargon klise dan basi itu justru laku keras.

Pelarangan FPI oleh pemerintah ini kiranya bisa menjadi momentum untuk mengonsolidasikan kekuatan ulama, umara dan umat demi menghadang laju intoleransi dan radikalisme agama yang kian mengkhawatirkan. Pemerintah sudah seharusnya tidak kalah oleh ormas jalanan yang gemar main hakim sendiri untuk memaksakan kehendak klaim kebenarannya. Ulama juga idealnya menjadi tiang pancang yang menyangga harmoni sosial dalam payung kebinekaan. Di saat yang sama, umat juga seharusnya tidak mudah dimobilisasi dengan sentimen-sentimen kepentingan ekonomi-politik yang dibalut isu keagamaan. Inilah momen tepat untuk merevitalisasi ormas-ormas khususnya berlatar agama agar kembali ke esensi dasarnya, yakni sebagai pemersatu bangsa.

This post was last modified on 6 Januari 2021 8:05 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

15 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

15 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

15 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago