Pelarangan Front Pembela Islam (FPI) ialah stimulus penting bagi gerakan pemberantasan intoleransi dan radikalisme berbalut isu agama. Selama ini, masyarakat dibuat jengah dengan keberadaan FPI. Ia serupa benalu dalam sistem demokrasi; menumpang hidup sembari menggerogoti inang tempatnya bernaung. Namun, kita kerap dibuat tidak berdaya menghadapi manuver FPI yang lihai berselancar di panggung politik nasional. Setiap tindakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh FPI pasti dipelintir ke dalam isu “kriminalisasi ulama” atau “anti-Islam”. Di titik ini, harus diakui pelarangan FPI merupakan keputusan berani yang patut diapresiasi.
Namun, sebagian kalangan menilai pelarangan FPI tidak efektif menekan fenomena intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Anggapan ini bagi saya cenderung ahistoris. Sejarah mencatat, pelarangan organisasi terbukti efektif membendung penyebaran ideologi yang diusungnya. Misalnya, pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terbukti efektif menangkal penyebaran ideologi sosialisme-komunisme. Begitu juga pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang juga efektif membatasi ruang gerak ideologi khilafah. Belajar dari dua hal itu, kita patut yakin pelarangan FPI akan mampu menahan laju intoleransi dan vigilante (aksi main hakim sendiri) yang selama ini disponsori oleh gerombolan preman berjubah tersebut.
Di saat yang sama, sejumlah orang menilai pelarangan FPI telah mencederai demokrasi. Anggapan yang demikian ini terlihat sahih, padahal memiliki cacat logika akut. Seperti kit tahu, demokrasi bukan sistem yang membolehkan warganegara bebas berbuat apa saja tanpa batasan. Demokrasi bertumpu di atas regulasi, aturan main dan tata hukum yang jelas. Torben Iversen dalam buku Democracy and Prosperity menyebut bahwa kian demokratis sebuah negara, maka kian banyak aturan hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Ini artinya, hidup di alam demokrasi membawa konsekuensi logis yang tidak bisa ditawar, yakni kepatuhan terhadap hukum negara. Iversen juga mengaskan bahwa pilar penting negara demokrasi ialah rule of law. Tanpa (penegakan) hukum, demokrasi akan terjerumus pada chaos.
Pemikiran senada ditegaskan oleh Karl R. Popper. Dalam bukunya, The Open Society and Its Enemies, Popper menegaskan bahwa konsep masyarakat terbuka (demokrasi) rawan tantangan. Salah satunya ialah suburnya paham dan gerakan intoleran yang justru mengancam masyarakat itu sendiri. Menurut Popper, dalam sistem otoritarianisme musuh bersama mudah diidentifikasi, yakni kekuasaan yang absolut, anti-kritik dan militeristik. Sedangkan di sistem demokrasi-terbuka, musuh bersama itu kerap sukar diidentifikasi lantaran seringkali berasal dari aktor non-negara (non-state actor) alias masyarakat sipil. Kelompok sipil toleran ini dimungkinkan hidup lantaran sifat alami demokrasi itu sendiri yang adaptif terhadap semua hal. Inilah yang saat ini dihadapi oleh bangsa Indonesia. Demokrasi yang kita perjuangkan susah payah dengan gerakan Reformasi 1998 kini dibajak oleh segelintir ormas yang gemar mengumbar intoleransi dan kekerasan di ruang publik.
Dalam argumen Popper, demokrasi memang menoleransi paham intoleran dan radikal, sebatas masih ada dalam tataran ide atau wacana. Sebaliknya, jika wacana intoleransi dan radikalisme itu mengejawantah dalam gerakan sosial-politik, maka tidak ada jalan lain kecuali membasminya. Argumen Popper ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan ruang sejengkal pun bagi ormas intoleran pemecah belah bangsa. Kita patut belajar dari HTI yang berhasil membangun jejaring, menyusup ke instansi swasta dan lembaga pemerintah serta membangun struktur kelembagaan yang solid ke akar rumput. Semua itu dimungkinkan terjadi karena satu hal; pembiaran. Membiarkan ormas intoleran-radikal eksis ibarat memelihara hewan buas. Sejinak apa pun hewan buas, ia tetap memiliki naluri memangsa.
Menyatukan Persepsi Ulama dan Umara dalam Menghadapi Ormas Pemecah Belah Bangsa
Pelarangan FPI ialah langkah penting meredam intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Selanjutnya, kita perlu memastikan ormas intoleran pemecah belah bangsa tidak mendapat ruang bermanuver di negeri ini. Di titik inilah diperlukan sinergitas ulama dan umara dalam mengawal ormas agar kembali ke khittah-nya sebagai pemersatu bangsa. Sejak era kolonial hingga kemerdekaan, ulama dan umara telah menjalin sinergi untuk meraih kemerdekaan sekaligus meletakkan dasar-dasar wawasan kebangsaan. Sinergi itu idealnya dipertahankan, terutama di konteks sekarang ketika bangsa Indonesia menghadapi beragam tantangan terkait maraknya intoleransi dan radikalisme.
Di satu sisi, umara yang memiliki otoritas untuk menyusun regulasi dan mengambil kebijakan hendaknya mampu bersikap adil. Umara harus menjalani perannya sebagai pemimpin yang mampu melindungi dan mengayomi seluruh kelompok dan lapisan masyarakat tanpa kecuali. Umara berkewajiban mewujudkan negara sebagai tenda bangsa yang menaungi seluruh entitas agama, etnis dan budaya tanpa menyisakan adanya diskriminasi berbasis relasi mayoritas-minoritas. Dalam mewujudkan peran tersebut, umara harus bersikap tegas pada anasir yang mengancam stabilitas dan harmoni sosial, termasuk ormas intoleran-radikal.
Di sisi lain, ulama yang kerap disebut sebagai cultural broker (pialang budaya) memiliki tugas mendidik umat. Mendidik umat dalam hal ini tidak hanya mencakup wilayah keagamaan-spiritualitas semata, namun juga menjangkau isu-isu sosial-politik. Di ranah sosio-kultural-politik, ulama harus mampu membangun kesadaran kebangsaan di kalangan umat. Ulama harus mampu menjadi teladan bagi corak keberagamaan yang moderat-toleran, yakni praktik beragama yang setia pada NKRI dan Pancasila serta adaptif pada kebinekaan. Di saat yang sama, ulama harus berperan aktif membentengi umat dari infiltrasi ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila.
Maka dari itu, penting bagi ulama dan umara untuk menyatukan persepsi serta saling mendukung dalam menghalau setiap potensi serangan balik dari kaum intoleran-radikal. Ulama ialah representasi dari kesalehan dan keilmuan. Sedangkan umara ialah representasi dari kekuasaan. Sinergi dan perpaduan keduanya merupakan kekuatan yang akan menjamin bangsa ini bebas dari kaum intoleran-radikal terutama yang mewujud pada ormas vigilantis pemecah belah umat.
This post was last modified on 7 Januari 2021 12:20 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…