Pasca tampil di siniar bersama mualaf Richard Lee yang sempat mendulang kontroversi, pendakwah asal India, Zakir Naik kini melakukan road-show dakwah di sejumlah kota di Indonesia. Dan, seperti dapat ditebak, kegiatan safari dakwah Naik ini mendapat penolakan dari sejumlah elemen keagamaan dan kemasyarakatan.
Di Malang, kedatangan Zakir Naik ditentang oleh organisasi kepemudaan NU, Anshor dan sejumlah elemen masyarakat lain. Penolakan itu didasari atas fakta bahwa dakwah atau ceramah Zakir Naik kerap memicu perpecahan di masyarakat.
Seperti kita tahu, Zakir Naik dikenal sebagai pendakwah dengan spesialisasi debat antar-agama. Ia dielu-elukan oleh para pendukungnya sebagai ahli debat agama dengan retorika yang kuat dan tidak terkalahkan. Konon, ia bisa mengislamkan ratusan bahkan ribuan non-muslim melalui debat-debat keagamaan yang dilakukan di muka umum.
Namun, segala puja-puji dan klaim bombastis itu akan terbantahkan jika kita melihat secara detil dan obyektif model dakwah yang selama ini ia jalankan. Jika dibaca dari perspektif teori dialog antar-agama, apa yang ditampilkan Zakir Naik dalam dakwahnya itu adalah model debat yang berkecencenderungan apologetik-konfrontatif.
Secara sederhaa, debat atau dialog agama model apologetik-konfrontatif adalah debat keagamaan yang berusaha mempertahankan klaim kebenaran (truth-claim) agama sendiri dengan menyerang konsep teologi agama lain. Salah satu yang paling umum adalah dengan membandingkan atau mengkonfrontasikan ayat dalam kitab suci agama sendiri dan kitab suci agama lain. Tujuannya satu yakni mengukuhkan klaim bahwa kitab suci agama sendiri paling benar, dan menuding kandungan kitab suci agama lain itu palsu, tiruan, atau salah.
Penting dicatat, bahwa model dialog keagamaan model apologetik-konfrontatif itu tidak hanya berkembang di satu agama, yakni Islam saja. Model dialog apologetik-konfrontatif ini justru lebih dahulu berkembang dalam tradisi Kristen. Para evangelis Kristen banyak memakai model pendekatan apologetik-konfrontatif ini untuk mendeskreditkan agama lain.
Tempo hari, jagad media sosial kita sempat diramaikan oleh sosok Elia Myron. Dia membranding dirinya di media sosial sebagai seorang apologet Kristen. Pernyataan-pernyataannya di media sosial dikenal sangat kontroversial. Misalnya, ia pernah menyebut bahwa isi Alquran kebanyakan meniru atau menjiplak kandungan kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bahkan, ia mengatakan bahwa Alquran perlu direvisi karena tidak sesuai dengan kitab Injil.
Baik Elia Myron dan Zakir Naik, keduanya sebenarnya sama; gemar mencomot ayat dalam kitab suci secara serampangan, dan dijadikan senjata untuk mendeskreditkan konsep keimanan agama lain. Model apologetik-konfrontatif ini memang erat kaitannya dengan pola penafisran kitab suci yang tekstualis-skripturalis. Yakni penafisran ayat kitab suci secara harfiah, tanpa mempertimbangkan aspek sejarah atau latar belakang turunnya ayat dan abai pada dimensi relevansi dan kontekstualitas.
Bedanya, Elia Myron hanya populer di Indonesia, dan nisbi hanya sebentar menikmati viralitas media sosial. Sedangkan Zakir Naik, memiliki panggung yang lebih besar dari itu. Jangkauan dakwahnya lintas-negara. Ia barangkali adalah satu-satunya apologetik muslim dengan caliber multi atau transnasional. Ia berpindah dari satu negara ke negara lain membawa misi yang sama; menyebarkan klaim kebenaran tunggal Islam dan mendekskreditkan agama lain dengan tudingan sesat, salah, kafir, dan sejenisnya.
Dampak dari model dakwah apologetik-konfrontatif itu tidak bisa dianggap sepele. Corak dakwah yang cenderung merendahkan agama lain menjadi embrio bagi lahirnya perilaku intoleran bahkan radikal-ekstrem terhadap kelompok agama lain. Dengan kata lain, model dakwah apologetik-konfrontatif berkontribusi positif pada menguatnya radikalisme dan ekstremisme keagamaan.
Asumsi ini bukan tanpa data. Pemerintah India dan Pakistan melarang ceramah Zakir Naik dengan alasan bahwa pasca ceramah publik yang dilakukannya, angka terorisme berlatar agama di kedua negara mengalami peningkatan. Zakir Naik memang tidak secara eksplisit menyuruh jemaahnya melakukan kekerasan atau teror terhadap kelompok non-muslim.
Namun, pernyataan apologetik, konfrontatif, dan agitatifnya terbukti efektif membangkitkan sentimen kebencian terhadap kelompok non-muslim. Sentimen kebencian itulah yang menjadi bahan bakar kekerasan dan teror yang menyasar kelompok agama lain.
Fenomena dakwah transnasional ala Zakir Naik yang berkarakter apologetik-konfrontatif ini perlu diwaspadai. Pemerintah bersama organisasi keagamaan harus bersinergi untuk membendung fenomena ini agar tidak meluas. Sebagai pemegang otoritas, pemerintah wajib mengeluarkan regulasi untuk melarang ceramah dari pendakwah transnasional yang berkarakter apologetik-konfrontatif.
Di sisi lain, peran ormas keagamaan dalam hal ini adalah mengedukasi umat agar memiliki kesadaran dalam memilah model dakwah keagamaan yang akan dikonsumsi. Umat idealnya tidak hanya sekadar FoMO alias ikut-ikutan tren yang tengah populer atau viral di media sosial. Umat harus punya prinsip untuk membedakan mana dakwah yang maslahat dan mana dakwah yang membawa mudharat.
Sebenarnya, Indonesia sebagai negara muslim terbesar kedua di dunia tidak kekurangan ulama dan kiai pendakwah. Indonesia juga memiliki rekam jejak sejarah panjang terkait metode dan strategi dakwah. Model dakwah Islam awal di Nusantara, terutama yang dimotori oleh kelompok Wali Songo telah meletakkan dasar-dasar bagaimana menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang multikultur dan multireliji.
Para Wali Songo kala itu tidak lantas serampangan menghakimi agama atau budaya yang telah eksis kala itu sebagai sesat, kafir, dan sebagainya. Para ulama Wali Songo juga tidak serampangan mengutip Alquran atau hadist untuk menghakimi kepercayaan dan keyakinan lokal. Sebaliknya, Wali Songo justru memakai pendekatan berbasis kultural yang lebih simpatik terhadap pluralitas lokal.
Metode itulah yang relevan dan kontekstual sebagai jalan dakwah di Indonesia. Bukan model dakwah apologetik-konfrontatif yang menyuburkan prasangka dan sentimen kebencian terhadap kelompok agama lain.
Era digital harus diakui telah mendorong transnasionalisme ke titik yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Di…
Lazim dipahami bersama, kyai kampung adalah figur otoritas bagi jamaah di kampung, desa, kalurahan, bahkan…
“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…
Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…
Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…
Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…