Narasi

Nasionalisme: Komitmen Perdamaian Global atau Belenggu Perjuangan Umat?

Apakah mungkin nasionalisme, yang lahir dari semangat kebangsaan dan cinta tanah air, justru menjadi penghalang bagi perjuangan universal umat manusia menuju perdamaian global? Inilah paradoks besar dalam diskursus kontemporer yang harus kita bedah secara kritis.

Nasionalisme, secara historis, merupakan respons terhadap kolonialisme dan imperialisme. Ia menjadi motor pembebasan berbagai bangsa dari penjajahan. Dalam konteks Indonesia, nasionalisme menjadi ruh perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, sebagaimana tercermin dalam pidato-pidato Bung Karno yang penuh semangat kebangsaan. Namun, ketika nasionalisme dikultuskan secara berlebihan, ia dapat berubah menjadi eksklusivisme dan chauvinisme, yang justru bertentangan dengan semangat universal Islam.

Islam tidak pernah mengenal batas-batas geografis dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Konsep ummah dalam Islam melampaui sekat-sekat nasionalisme sempit. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat ini menegaskan bahwa kebhinekaan adalah fakta antropologis yang harus disikapi dengan sikap inklusif, bukan fanatisme golongan.

Menjembatani Lokalitas dan Universalitas

Kita bisa berkaca pada pemikiran agung Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair besar dari India, yang mengkritik keras nasionalisme Barat yang berlandaskan materialisme dan egoisme. Baginya, nasionalisme sekuler telah memecah belah umat dan menciptakan dinding artifisial yang menghalangi solidaritas spiritual.

Serupa, Ali Syariati, intelektual revolusioner Iran, mengingatkan kita untuk membedakan antara ashabiyyah (fanatisme kelompok) dan kesadaran kolektif berbasis nilai. Nasionalisme yang lahir dari semangat keadilan dan pembebasan adalah sah, namun bila bergeser menjadi ideologi eksklusif yang menolak nilai kemanusiaan universal, maka ia menjelma menjadi berhala baru yang menyesatkan.

Namun, bukan berarti Islam anti-nasionalisme. Sebaliknya, nasionalisme bisa menjadi alat ampuh untuk memperjuangkan keadilan, kedaulatan, dan martabat bangsa. Dalam era ketidakadilan struktural dan neo-imperialisme global saat ini, nasionalisme bisa menjadi perlawanan terhadap dominasi. Syaratnya, ia harus dibimbing oleh etika Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kasih sayang, dan perdamaian.

Nasionalisme Etis: Komitmen pada Kemanusiaan dan Perdamaian

Penting sekali membedakan antara nasionalisme yang etis dan nasionalisme yang egoistik. Nasionalisme etis adalah yang berpihak pada kaum lemah, mendukung perdamaian dunia, dan terbuka terhadap dialog lintas budaya. Inilah wujud nasionalisme yang sejalan dengan maqâshid al-syarî‘ah –menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta– bukan hanya bagi satu bangsa, melainkan bagi seluruh umat manusia.

Sungguh disayangkan, ketika nasionalisme hanya menjadi slogan politik tanpa isi moral. Lagu kebangsaan berkumandang, bendera berkibar gagah, namun keadilan sosial terabaikan dan elite politik memperkaya diri. Nasionalisme hanya menjadi kosmetik belaka, bukan komitmen otentik terhadap kemanusiaan dan perdamaian.

Menuju Nasionalisme Kosmopolitan: Rahmatan lil ‘Alamin

Di era globalisasi ini, nasionalisme bukan lagi pagar pembatas, melainkan jembatan menuju kerja sama lintas bangsa. Kita harus membangun nasionalisme kosmopolitan – berakar kuat pada identitas lokal, namun terbuka pada solidaritas global. Ini selaras dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam semesta.

Di tengah ancaman perang, krisis kemanusiaan, dan degradasi lingkungan yang melintasi batas negara, dunia haus akan tatanan baru yang berlandaskan keadilan dan tanggung jawab kolektif. Di sinilah nasionalisme yang tercerahkan memegang peran sentral: ia mengakar dalam tanah dan sejarah lokal, namun tatapannya menembus cakrawala kemanusiaan universal. Ia tak menolak perbedaan, justru merayakannya sebagai mozaik yang memperkaya peradaban.

Maka sangat penting bagi kita untuk menekankan keberanian moral umat Islam untuk tidak terjebak dalam romantisme identitas, melainkan menumbuhkan visi peradaban yang menyatukan antara lokalitas dan globalitas. Konsep khilafah insaniyah –kepemimpinan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi– bisa menjadi fondasi untuk membangun nasionalisme yang etis, bertanggung jawab, dan transformatif.

Nasionalisme bisa menjadi komitmen terhadap perdamaian global, selama ia dibingkai dalam etika Islam dan dibebaskan dari belenggu fanatisme sempit. Nasionalisme bukan berhala baru, melainkan harus menjadi jalan spiritual dan politik untuk memperjuangkan keadilan global. Nasionalisme semacam ini bukan hanya mungkin, tetapi juga sangat mendesak untuk diwujudkan dalam tatanan dunia yang saat ini sedang kehilangan arah moralnya.

 

This post was last modified on 12 Juli 2025 10:00 AM

Samachatul Maula

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

1 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

1 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

1 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

2 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

2 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

2 hari ago