Pustaka

KrisMuha: Potret Muhammadiyah dalam Mengelola Toleransi dalam Keberagaman

Judul Buku: Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan
Penulis: 
Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq
Tebal: 268 halaman

Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun Terbit: Edisi Revisi, 2023

Belakangan ini publik dihebohkan dengan istilah Kristen Muhammadiyah (KrisMuha) di jagat media sosial. Banyak pihak menganggap bahwa istilah itu merupakan bentuk kesesatan karena dianggap menyatukan dua agama antara Muhammadiyah (Islam) dengan agama Kristen. Padahal, menurut pihak yang menentang, Islam (Muhammadiyah) dan Kristen adalah dua agama yang secara akidah berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain.

Istilah Kristen Muhammadiyah itu muncul dalam buku yang ditulis oleh Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ulhaq yang berjudul Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan. Buku ini merupakan hasil penelitian keduanya tentang hubungan siswa-siswa Kristen di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berada di daerah-daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal). Daerah-daerah yang dimaksud tak lain adalah Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT); Serui, Papua; dan Putussibau, Kalimantan Barat (Kalbar).

Buku yang diterbitkan oleh Kompas ini mendedahkan fakta sosiologis berupa adanya hubungan harmonis siswa-siswa Muhammadiyah yang beragama Kristen dengan siswa yang beragama Islam dan dengan Muhammadiyah itu sendiri. Yang bukan hanya dekat, tetapi juga memahami dan merasa memiliki terhadap Muhammadiyah meski bukan anggota resmi Muhammadiyah itu sendiri.  ”Krismuha adalah orang-orang Kristen/Katolik yang sangat memahami, menjiwai, dan mendukung gerakan sosial Muhammadiyah (halaman, 201).

Varian Sosiologis, Bukan Teologis

Menurut kedua penulis, secara kebahasaan istilah Kristen Muhammadiyah itu adalah untuk menggambarkan hubungan sosial dan kedekatan sejumlah siswa Muhammadiyah yang meski beragama Kristen, namun memiliki hubungan baik dengan Muhammadiyah. Artinya, istilah itu sengaja dimunculkan sebagai varian sosiologis semata, bukan untuk menjelaskan sisi teologis  antara Kristen dan Muhammadiyah yang dicampuradukkan.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa Istilah Kristen Muhammadiyah itu hanya istilah untuk menggambarkan perkawinan sosiologis, bukan perkawinan teologis sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak sebagai bentuk kesesatan. Perkawinan sosiologis itu memiliki makna yang berbeda dengan perkawinan teologis. Jika perkawinan teologis memiliki makna mencampur adukkan antara ajaran kedua agama tersebut (Islam-Kristen). Maka perkawinan sosiologis hanya bermakna penyatuan sosial, keharmonisan, dan keakraban.

Karena itu, munculnya istilah Kristen Muhammadiyah itu tidak bisa dijustifikasi sebagai bentuk kesesatan. Sebab tak ada upaya mencampur adukkan antara ajaran kedua agama tersebut. Juga, tak ada maksud untuk menciptakan aliran keagamaan baru. Mereka (orang-orang Kristen) yang masuk dalam kategori Kristen Muhammadiyah secara teologis tetaplah Kristen seutuhnya, tidak diklasifikasikan sebagai setengah Kristen dan setengah Muhammadiyah. Mereka, meski masuk dalam klasifikasi Kristen Muhammadiyah, tetaplah pemeluk agama Kristen seutuhnya. Tidak diakui dan dicatat sebagai Muslim.

Energi Positif bagi Masa Depan Toleransi Antaragama

Oleh sebab itu, di saat banyak pihak menuding munculnya istilah itu sebagai bentuk kesesatan, penulis justru melihat munculnya istilah Kristen Muhammadiyah itu sebagai energi positif bagi masa depan toleransi antaragama di Indonesia. Khususnya di kalangan siswa. Sebab, selain karena bukan merupakan varian teologis, istilah itu mampu memunculkan rasa kekeluargaan dan kedekatan di antara dua pemeluk agama tersebut. Yang meski berbeda secara keyakinan keagamaan, namun tidak saling memusuhi dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, justru saling menghargai dan merasa saling memiliki satu sama lain.

Hal itu jelas positif, alih-alih negatif. Karenanya, hal-hal sepele semacam itu kiranya penting untuk dirawat untuk menjadi isinuasi tentang kerukunan, keharmonisan, dan rasa kekeluargaan. Khsusus di dalam dunia pendidikan. Sepanjang semua itu dilakukan dalam kaitannya dengan hubungan sosial, bukan soal akidah syariah, tentu semua itu tak masalah dilakukan dan dicontoh oleh ormas-ormas yang lain. Karena itu, struktur sosial baru yang lebih harmonis yang tengah dicoba dibangun oleh Muhammadiyah itu layak untuk dijadikan contoh bagaimana merumuskan kehidupan beragama ke depan. Yang meski berbeda-beda, namun saling terbuka sehingga terciptalah budaya saling memahami.

This post was last modified on 22 Juni 2023 12:28 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

6 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

6 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

7 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

7 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago