Narasi

Kurban, Kemanusian, dan Semangat Nir-kekerasan

Sebagai ibadah ritual, pertanyaan yang sering diajukan pada kurban adalah: Mengapa binatang kurban itu harus disembelih? Bukankah, menyembelih binatang merupakan suatu tindakan kekerasan (violence)? Apalagi sebelum disembeli, binatang itu diikat, ditarik, diinjak, dan darahnya mengalir kemana-mana.

“Itu sangat tidak manusiawi,” kata sebagian pihak. Mengapa tidak diberikan saja binatang itu kepada fakir-miskin untuk dipelihara sehingga bisa berkembang biak dan hasilnya bisa dinikmati mereka?

Pertanyaan itu sah-sah saja. Akan tetapi, pada konteks ini, kita perlu melihat kurban jangan dari luar atau kulitnya saja. Kita harus masuk ke inti terdalam (sisi batin), niscaya kita akan menemukan makna yang sangat dalam.

Jasser Auda (2008) menyatakan, setiap pertanyaan mengapa (why/limaza) yang diajukan kepada doktrin agama, maka itu adalah pertanyaan maqasid syariah. Pertanyaan maqasid adalah pertanyaan yang mempersoalkan tujuan, maksud, ending, hikmah, atau  kausa legis dari suatu ajaran agama.

Tujuan penyembelihan sejatinya bukanlah untuk menyakiti hewan itu, dan tidak berhenti hanya: sembelih lalu dagingnya dibagi-bagi. Tidak! Ada rahasia (asrar) dalam anjuran kurban. Rahasia besar itu menurut sebagian pakar adalah untuk menyembeli jiwa keras dan prilaku kekarasan yang ada dalam diri kita.

Ini sama denga filosofi perang untuk perdamaian. Tujuan utama perang bukanlah untuk perang itu sendiri, melainkan untuk mewujudkan perdamaian. Jika ingin berdamai, maka bersiaplah untuk berperang.

Artinya ada tujuan yang dituju, ada hikmah yang mau diambil. Ini bisa terjadi ketika kita tidak berbenti hanya di perangnya saja. Logika yang sama juga dalam ibadah kurban. Sekalipun ada tindak kekerasan (violence), tetapi itu adalah sebagai bentuk pengabdian. 

Di agama apapun, violence sebagai bentuk pengabdian selalu ada. Dalam Islam, kurban adalah salah satu bentuknya. Meskipun binatang itu diikat, ditarik, diinjak, lalu disembelih, tujuan utamanya adalah untuk menyembelih sifat kekerasan yang ada dalam diri kita.

Kekerasan itu baik dalam sikap; ujaran kebencian; prilaku: intoleransi; maupun tindakan: terorisme, harus disembeli. Sifat kekerasan ini disimbolkan dengan binatang. Penyembelihan binatang sama dengan penyembelihan sifat, watak, dan tindakan kekerasan yang ada dalam diri kita, anak, istri, dan famili lainnya.

Menuju Kedamaian

Berdasarkan itu, maka tujuan utama kurban sejatinya adalah nir-kekerasan. Kurban memainkan logika terbalik. Penyembelihan hewan sebagai iktibar bahwa penyembelihan itu untuk memberikan kehidupan kepada orang lain. Daging dari hewan itu bisa dimanfaatkan para pihak yang berhak untuk menyambung dan mempertahankan hidup mereka.

Logika yang sama juga dimainkan oleh Al-Quran ketika berbicara tentang kisas (hukaman mati). Pada masanya, kisas diberlakukan untuk menciptakan kehidupan kepada msyarakat lainnya, dengan cara menghukum pelaku kriminal. Logika Al-Quran menyebut, kisas itu hanyalah sarana (wasilah), sementara kehidupan yang nyaman dan damai adalah tujuan (maqsud).

Kurban dengan segala tindakan kekarasan yang ada di dalamnya hanyalah sebatas sarana. Tujuan utamanya adalah kedamaian dan nir-kekerasan. Inilah menurut Jasser Auda sebagai cara pandang maqasid syariah. Cara pandang yang melihat sesuatu dari tujuannya, bukan sarananya.

Nirkekerasan yang diajarkan oleh kurban bisa diparaktek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, kita bisa meminjam argumen utama Chaiwat Santha-Anad (2015), bahwa nir-kekerasan merupakan senjata yang ampuh dalam perubahan sosial.

Perlawanan dengan nir-kekerasan jauh lebih efektif ketimbang dengan kekerasan.Senjata nir-kekerasan yang diajarkan oleh kurban adalah memberikan kehidupan kepada orang lain. Menyayangi, mengasihi, dan memberikan kegembiraan kepada orang lain.

Tidak memfitnah, tidak merusak martabat, tidak menyebar hoax dan ujaran kebencian kepada orang lain termasuk memberikan kehidupan kepada orang lain. Memberi kedamaian, cinta-kasih, keadilan, dan rasa tenggang rasa kepada manusia merupakan usaha untuk memberikan kehiduapan kepada liyan.

Semangat nir-kekerasan yang ada dalam kurban harus tidak berhenti hanya sekadar membagi-bagi daginya saja, melainkan kata, sikap, tindakan, dan prilaku kita harus sekuat tenaga diupayakan sebagai bentuk memelihara dan merawat kehidupan. Kurban melahirkan nir-kekerasan. Nir-kekerasan melahirkan kehidupan. Wallahu a;lam bishawab.

This post was last modified on 27 Juni 2023 11:24 AM

Nur Atikah Rahmy

Recent Posts

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional : Bangkit Melawan Intoleransi Berbasis SARA

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia.…

4 jam ago

PBB Sahkan Resolusi Indonesia Soal Penanganan Anak Terasosiasi Teroris: Kado Istimewa Hari Kebangkitan Nasional untuk Memberantas Terorisme

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengesahkan sebuah resolusi penting yang diusulkan oleh Indonesia, yakni resolusi yang…

4 jam ago

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

3 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

3 hari ago