Narasi

Lebaran Virtual, Memperkokoh Persaudaraan di Era Pandemi

Idul Fitri tahun ini kita masih dalam suasana pendemi. Covid-19 belum ada tanda-tanda akan hilang. Berkaca pada tahun sebelumnya (2020), angka kasus positif Corona meningkat seiring dengan banyaknya warga yang mudik.

Sama dengan tahun 2020, tahun ini pun pemerintah melarang warga untuk melakukan mudik dalam arti tradisional. Artinya, untuk sementara waktu, pulang kampung dan berjumpa dengan sanak family ditunda dulu. Ini semua dilakukan demi kamaslahatan bersama.

Meski mudik tradisional, saya memakai istilah itu, bukan berarti kita tidak bisa melakukan silaturrahmi dan tetap mempekuat persaudaraan. Kita masih bisa melakukan mudik virtual, yakni mudik dengan memperkokoh persudaraan dengan menggunakan perangkat digital.

Dalam konteks inilah, saya kira benar apa yang dikatakan oleh Ganjar Pranowo, bahwa sejatinya pemerintah tak melarang mudik dalam arti seluas-luasnya. Sebab, meski badan kita tak berjumpa secara langsung atau belum bisa tatap muka secara langsung, kita masih bisa berkomunikasi dan bersilaturrahmi lewat perangkat handphone, misalnya.

Artinya,larangan mudik jangan diterjamahkan sebagai larangan untuk bersilaturrahmi. Persaudaraan harus tetap dijaga, sanak family harus tetap disapa, handai tolan harus tetap berkomunikasi, tetapi dengan catatan, untuk tahun ini cukup via virtual saja.

Saya kira mudik virtual tidaklah mengurangi kesakralan silaturrahmi dan persaudaraan kita. Meski intensitas atau rasanya berkurang, tetapi esensi dan nilainya tetap sama dengan silaturrahi langsung (tatap muka).

Madrasah Ramadan

Dalam konteks inilah saya kira, Ramadan harus direfleksikan sebagai media mentransformasikan diri ke arah yang lebih substantif. Ramadan adalah bulan suci nan mulia yang melatih diri untuk membunuh nafsu keegoan dan kebinatangan kita.

Keogaan yang dimaksud adalah mementingkan pertemuan sesaat tetap mengorbankan jangka panjang atau orang lain. Dengan tidak mudik kita sudah bisa menjaga keluarga dan sanak family kita dari serbuan virus yang ganas itu.

Ramadan mempunyai potensi sebagai tempat berproses untuk kembali kepada fitrah bangsa. Tetapi laiknya refleksi, tentu tidak hanya berhenti pada gerak ke dalam, tetapi di saat yang sama juga harus gerak keluar sekaligus. Di sinilah perlunya aksi sebagai gerak keluar.

Potensi Ramadan akan sia-sia, jika tidak diikuti oleh semangat aksi nyata dalam mepraktikkan nilai-nilai persaudaraan, toleransi dan welas kasih kepada sesama dalam kehidupan.

Kedamain (lahum ajrahum), keamanan (wala khaufun), dan kesejahteraan (wala hum yahzanun) sebagai ciri ketaqwaan harus ada bukti nyata dalam hubungan sosial.

Puasa yang tidak mempunyai efek sosial, dalam bahasa Nabi adalah puasa yang sia-sia, hanya sekadar menahan dahaga dan lapar. Puasa harus dijadikan oleh setiap individu-individu untuk menemmbus keegoaan.

Kemaslahan di Atas Segalanya

Oleh sebab itu, memontem Idul Fitri harus dijadikan sebagai upaya meletakkan kemaslahatan di atas segalanya. Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan bersama, kemaslahatan saya dan kamu, kemaslahtan kami dan mereka.

Idul Fitri kita maknai sebagai gerak menjaga kebersamaan. Dengan tidak mudik tradisional adalah lebih maslahat bagi bangsa. Sebab, dengan itu kemungkinan besar tidak ada sanak family yang akan tertular virus itu.

Oleh sebab itu. pemaksaan kehendak harus dicegah, lebih-lebih kehendak yang ambisius. Kita harus bisa menggandengkan antara persaudaraan, di satu sisi dan keselamatan di sisi yang lain.

Keduanya harus beriringan. Ibarat dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan. Segala bentuk usaha yang berpotensi untuk memisahkan persaudaraan dan keselamatan harus kita perangi bersama.

This post was last modified on 12 Mei 2021 3:18 PM

Nur Atikah Rahmy

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

9 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

9 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

9 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago