Narasi

Lebih dari Sekadar Salaman dan Cium Tangan, Telaah Gestur Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal

Momen simbolis penuh hangat antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar bukan peristiwa biasa, terutama dalam konteks diplomasi lintas agama. Ketika Sri Paus mencium tangan Imam Masjid besar Istiqlal, balasannya rupanya tak kalah hangat. Nasaruddin Umar bersegera mencium kening pimpinan umat Katholik sedunia.

Sikap saling respect itu ternyata memiliki akar sejarah tersendiri. Delapan abad lalu, selama Perang Salib (Ketiga), ada momen simbolis yang juga memperlihatkan sikap saling hormat antara Sultan Muslim Saladin dan Raja Kristen Richard the Lionheart dari Inggris.

Kendatipun tidak ada gestur fisik seperti mencium tangan atau kening, narasi sejarah menunjukkan bahwa Saladin pernah mengirimkan dokter dan obat-obatan kepada Richard ketika jatuh sakit. Bukan saja menjadi tanda penghormatan dan perikemanusiaan, peristiwa historis ini menjadi simbol bahwa meskipun keduanya berada di pihak berlawanan karena konflik politik, mereka tetap bisa saling menghormati sebagai manusia.

Kini, Kristen dan Islam pada dasarnya tidak sedang terlibat dalam konflik global. Namun potret dua tokoh kunci agama Kristen dan Islam yang beredar di ruang media itu akan tetap relevan, apalagi dalam konteks diplomasi perdamaian antar-agama. Setiap gestur Paus Fransiskus dan Imam Besar Nasaruddin Umar jelas memiliki makna tersendiri, mencerminkan niat damai dan solidaritas lintas agama di Indonesia.

Pasalnya? Mari kita mulai dengan mencium tangan yang dilakukan Paus Fransiskus.

Jika dibaca menggunakan perspektif semiotika, mencium tangan bisa dianggap sebagai tanda penghormatan yang mendalam. Ketika pemimpin agama terbesar dalam tradisi Katolik mencium tangan seorang pemuka Muslim di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, gestur ini menunjukkan bentuk kerendah-hatian luar biasa. Secara implisit, ini sekaligus menandakan keinginan Paus untuk menjalin hubungan persaudaraan dan memperlihatkan pengakuan akan pentingnya dialog antaragama dalam mewujudkan perdamaian global.

Juga, gestur balasan dari Nasaruddin Umar yang mencium kening Paus tak kalah penting. Dalam budaya Indonesia, mencium kening seringkali diidentikkan dengan kasih sayang, perlindungan, dan restu.

Dengan mencium kening Paus, Nasaruddin menunjukkan penghargaan dan sikap bersahabat, seakan memberikan restu terhadap misi perdamaian yang dibawa oleh Paus. Dalam konteks yang lebih luas, tindakan ini bisa dilihat sebagai simbol bahwa Islam dan Kristen, dua agama besar yang seringkali dianggap berlawanan, sebenarnya mampu merangkul satu sama lain demi kemanusiaan.

Dari segi latar tempat, pertemuan ini terjadi di Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara yang dibangun sebagai simbol persatuan setelah kemerdekaan Indonesia. Hal ini memperkuat pesan simbolis tentang pentingnya keberagaman dalam negara yang berusaha menjaga harmonisasi antara berbagai agama. Terowongan silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Jakarta, yang juga menjadi bagian dari kunjungan Paus, seolah menjadi representasi fisik dari ikatan simbolik antara Islam dan Kristen di Indonesia.

Melihat lebih dalam dari sudut semiotika media, peristiwa ini dapat dianggap sebagai sebuah “tanda” dalam teori Roland Barthes. Tanda di sini bukan hanya sekedar tindakan mencium tangan dan kening, tetapi juga menyimbolkan bagaimana media membingkai narasi perdamaian dan keharmonisan dalam perbedaan. Dalam representasi ini, media berperan penting untuk menyebarkan pesan damai tersebut ke publik yang lebih luas. Media bukan hanya melaporkan, tapi juga membentuk pemahaman masyarakat tentang pentingnya toleransi antaragama.

Lewat tindakan-tindakan sederhana tapi penuh makna ini, Paus Fransiskus dan Nasaruddin Umar seakan mengirimkan pesan kepada dunia bahwa Indonesia, dengan sejarah panjang pluralisme, siap menjadi model dialog antaragama. Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, yang juga disertai dengan penandatanganan Deklarasi Bersama Istiqlal 2024, memberikan harapan bahwa kerja sama lintas iman bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan.

Wa ba’du, momen unik ini mengajarkan kita bahwa simbolisme dalam diplomasi agama tak bisa diremehkan. Ketika Paus mencium tangan seorang Imam, dan sang Imam membalas dengan mencium kening Paus, mereka sedang mengirimkan pesan damai yang universal, jauh melampaui perbedaan teologis. Indonesia, lewat para tokoh agama ini, sekali lagi membuktikan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan hambatan, dalam menciptakan perdamaian dunia.

Yasmeen Mumtaz

Recent Posts

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

6 jam ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

6 jam ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

9 jam ago

Perempuan Merdeka : Agensi dan Resiliensi dalam Pusaran Terorisme – Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 6 Agustus 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

11 jam ago

Urgensi Peta Jalan dan Pedoman AI di Tengah Maraknya Terorisme Digital

Pemerintah tengah menyusun Peta Jalan dan Pedoman AI. Rencananya pemerintah akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang…

1 hari ago

Deepfake dan Krisis Kebenaran : Strategi Menjaga Kewarasan di Abad AI

Di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, kita dihadapkan pada tantangan baru yang semakin kompleks…

1 hari ago