Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat kental dengan pendekatan moderat, toleransi, dan kearifan lokal. Sebagai agama yang berakar dalam budaya dan tradisi Nusantara, Islam di Indonesia memiliki dinamika yang unik dibandingkan dengan praktik-praktik Islam di kawasan lainnya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan adanya upaya framing terhadap wajah Islam di tanah air, yang mengesankan bahwa praktik agama ini tidak lagi menjadi laku hidup religius yang berbasis pada kearifan lokal, tetapi lebih tunduk pada pengaruh neo-liberal dan kapitalisme global, yang banyak berasal dari Amerika.
Framing ini tidak hanya mengguncang pondasi harmonisasi antara agama dan negara yang telah berhasil dibangun oleh tokoh-tokoh seperti Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), tetapi juga berisiko menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap institusi negara dan agama. Protes yang muncul sepekan terakhir terkait dengan tayangan program Xpose Uncensored yang disiarkan oleh TRANS7, yang menyoroti kehidupan Pondok Pesantren Lirboyo dan kiai besar dari pesantren tersebut, Kiai Haji Anwar Manshur.
Pada 13 Oktober 2025, tayangan tersebut menjadi sorotan tajam, menyulut protes dari berbagai kalangan, terutama dari komunitas santri dan pengasuh pesantren. Judul segmen yang menyinggung tentang kehidupan para santri dengan kalimat “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?” dianggap provokatif dan merendahkan martabat pesantren, yang selama ini telah menjadi tempat pembinaan moral dan spiritual umat Islam di Indonesia. Kritik terhadap tayangan ini semakin menguat ketika narasi dalam segmen tersebut mengarah pada stereotip negatif terhadap kehidupan santri dan kiai, seolah-olah kiai hanya memanfaatkan para santri untuk kepentingan pribadi mereka.
Bukan hanya kalangan pesantren yang merasa tersinggung, tetapi masyarakat luas pun mulai mempertanyakan kredibilitas media dalam memberikan informasi yang akurat dan berimbang. Masyarakat melalui tagar #BoikotTRANS7, menunjukkan betapa besarnya dampak dari framing yang terjadi. Penayangan yang tidak melalui proses observasi yang mendalam ini dianggap sebagai bentuk pemberitaan yang tidak etis dan hanya berfokus pada sensasionalisme yang bisa merusak citra agama dan tokoh agama.
Polemik ini juga menyentuh isu yang lebih besar, yaitu bagaimana media di Indonesia, terutama televisi, kerap kali terjebak dalam dinamika politik yang memanfaatkan isu agama untuk kepentingan tertentu. Selain itu, fenomena media ini memperlihatkan sebuah kesalahpahaman yang sering terjadi terkait tradisi dan feodalisme dalam pesantren.
Tradisi pesantren yang sudah berjalan selama berabad-abad bukanlah bentuk feodalisme yang mengeksploitasi santri, melainkan sebuah sistem pendidikan yang sarat dengan nilai etika dan moralitas. Namun, kritik yang sering dilontarkan mengenai “feodalisme” di pesantren justru mencerminkan ketidaktahuan akan prinsip dasar yang ada dalam sistem pesantren itu sendiri. Ada perbedaan yang sangat jelas antara tradisi yang mengandung nilai etika, seperti penghormatan kepada kiai, kedisiplinan, dan pembinaan spiritual dengan praktik feodalisme yang justru melibatkan eksploitasi dan ketimpangan kekuasaan.
Kritik terhadap feodalisme ini, sering kali dilatari oleh kesalahpahaman yang mendalam mengenai sistem sosial yang ada di pesantren. Di banyak pesantren, hubungan antara kiai dan santri lebih bersifat asimetris namun tetap didasarkan pada nilai saling menghormati dan bekerja sama. Dalam banyak hal, pengasuhan dan pendidikan di pesantren mengutamakan kesederhanaan, keikhlasan, dan pengorbanan untuk tujuan yang lebih mulia. Oleh karena itu, kritik yang berfokus pada “feodalisme” seringkali hanya mencerminkan pandangan sepihak yang tidak mempertimbangkan kearifan lokal dan struktur sosial yang ada dalam pesantren.
Tayangan seperti yang disiarkan oleh TRANS7 sebenarnya menambah ketegangan ini, dengan menciptakan framing yang menyamakan tradisi dengan praktik feodal. Media, dalam hal ini, memiliki peran penting dalam membentuk pandangan publik, dan framing negatif yang diberikan terhadap pesantren akan memperburuk persepsi masyarakat terhadap sistem pendidikan agama ini. Seringkali, komentar warganet yang tidak memahami sistem pesantren secara mendalam semakin memperburuk situasi. Bahkan, media mainstream seperti TRANS7 pun turut berperan dalam memperburuk citra pesantren dan kiai dengan penyajian yang tendensius dan tidak berdasarkan fakta yang obyektif.
Lebih dari sekadar polemik media, kejadian ini memperlihatkan betapa pentingnya menjaga nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia. Tak hanya dalam dunia media, tetapi juga dalam interaksi kita dengan dunia politik dan ekonomi. Perpecahan dalam masyarakat, yang kerap kali dibumbui dengan politik adu domba yang berkedok agama, harus dihindari agar tidak merusak harmoni sosial yang selama ini berhasil dibangun. Negara harus hadir untuk melindungi martabat tokoh agama dan lembaga-lembaga pendidikan agama dari penghinaan yang dapat merusak integritas.
Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…
Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…
Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…
Perdebatan mengenai posisi agama dalam kehidupan bernegara selalu menjadi isu yang tak pernah habis di…
Dalih bahwa teks adalah landasan moral agama yang dibawakan tradisi keagamaan puritan tidak sepenuhnya salah.…
Seorang Abdurrahman Wahid pernah mencetuskan istilah “Islam Pribumi” jauh sebelum istilah “Islam Nusantara” ada. Dan,…