Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah dan Irak sudah lama runtuh, sisa-sisa pengaruh ideologinya terus menyusup secara halus melalui dunia maya. Jika pada 2014 propaganda ISIS berfokus pada perekrutan “mujahid” untuk memperjuangkan berdirinya khilafah global, kini mereka lebih banyak mengarahkan serangannya pada upaya menciptakan kekacauan sosial dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah serta lembaga keagamaan yang sah di Indonesia.
Propaganda yang disebarkan kini tak lagi bersifat frontal dengan narasi perang dan jihad bersenjata, melainkan lebih subtil—dibungkus dengan isu keagamaan, politik, dan kultural yang dekat dengan keseharian masyarakat. Salah satu framing yang mereka gunakan adalah menuding bahwa Islam moderat di Indonesia hanyalah proyek Amerika Serikat untuk menundukkan umat Islam dan menjauhkan mereka dari Islam kaffah.
Mereka menggiring opini bahwa Islam moderat hanyalah versi “jinak” dari Islam yang disukai Barat, sementara kelompok mereka adalah representasi Islam “murni” yang menolak kompromi terhadap sistem sekuler dan kapitalistik. Narasi seperti ini berbahaya, karena bukan hanya mengguncang keimanan sebagian umat yang belum kokoh, tetapi juga berpotensi memecah belah ukhuwah Islamiyah yang selama ini menjadi fondasi harmoni di Indonesia.
Lebih jauh lagi, narasi propaganda tersebut mengandung logika adu domba yang sangat halus. Mereka membenturkan umat Islam dengan pemerintah, dengan para ulama moderat, bahkan antarormas Islam itu sendiri. Misalnya, muncul tuduhan bahwa organisasi Islam besar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dianggap bersekongkol dengan pemerintah dan Barat untuk mengebiri syariat Islam.
Padahal, dua ormas ini justru berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara keislaman dan keindonesiaan. Fitnah semacam ini menciptakan iklim kecurigaan yang akut di tengah masyarakat—di mana setiap ajakan moderasi dianggap sebagai bentuk penyesatan, dan setiap dakwah rahmatan lil ‘alamin dicurigai sebagai alat hegemoni Barat.
Propaganda ISIS di ruang digital kini lebih menyerupai operasi psikologis (psywar) daripada perekrutan militer. Mereka memanfaatkan algoritma media sosial dan platform perpesanan terenkripsi untuk menyebarkan disinformasi dan narasi konspiratif. Pesan-pesan tersebut dikemas dengan bahasa keagamaan yang persuasif, menyitir ayat dan hadis secara parsial untuk menegaskan bahwa sistem negara modern adalah “thaghut” yang harus ditolak.
Perubahan pola propaganda ini menunjukkan bahwa ISIS kini lebih memprioritaskan perpecahan sosial daripada pendirian negara khilafah. Tujuan utamanya bukan lagi membangun kekuasaan fisik, tetapi menciptakan chaos yang bisa melumpuhkan legitimasi negara. Begitu masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan lembaga agama, maka ruang kosong itu akan diisi oleh mereka. Inilah bentuk baru “propaganda mereka.
Narasi seperti “Islam moderat adalah produk Barat” sangat efektif di kalangan umat yang frustrasi dengan kondisi sosial dan politik. Mereka diarahkan untuk menganggap bahwa kemunduran umat disebabkan oleh moderasi, bukan karena kegagalan sebagian umat dalam mempraktikkan nilai-nilai Islam secara benar. Padahal, Islam moderat bukanlah proyek politik asing. Ia adalah ekspresi kultural Islam Nusantara yang berakar dari Islam dan lokalitas. .
Menghadapi situasi ini, umat Islam Indonesia harus lebih waspada dan cerdas secara digital. Jangan mudah percaya pada narasi yang membenturkan agama dengan negara, apalagi yang menuduh Islam moderat sebagai antek Barat. Islam sejati tidak mengajarkan permusuhan, tetapi kasih sayang. Islam kaffah bukanlah tentang mendirikan khilafah, melainkan menebarkan rahmat dan keadilan di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Propaganda ISIS mungkin telah bergeser dari senjata ke kata-kata, dari medan perang ke layar ponsel, tetapi tujuannya tetap sama: memecah belah umat. Karena itu, melawan propaganda semacam ini bukan sekadar tugas aparat, melainkan tanggung jawab seluruh umat agar Islam tetap menjadi sumber kedamaian, bukan fitnah yang memecah persaudaraan.
Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…
Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…
Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…
Perdebatan mengenai posisi agama dalam kehidupan bernegara selalu menjadi isu yang tak pernah habis di…
Dalih bahwa teks adalah landasan moral agama yang dibawakan tradisi keagamaan puritan tidak sepenuhnya salah.…
Seorang Abdurrahman Wahid pernah mencetuskan istilah “Islam Pribumi” jauh sebelum istilah “Islam Nusantara” ada. Dan,…