Narasi

Lindungi Siswa dari Materi Pelajaran Intoleran

“Menyembah selain Allah Swt. atau musyrik boleh dibunuh,” Kurang lebih demikian materi yang ada di dalam Kumpulan Lembar Kerja Peserta Didik Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI pada tahun lalu, 2015. Fenomena menarik perhatian semua kalangan, terutama pengamat pendidikan, media hingga aktivis lintas agama. Materi seperti itu dinilai menjadikan penanaman sikap intoleransi terhadap umat beragama.

Seperti halnya diberitakan di beberapa media mainstream, materi tersebut disusun oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran Agama Islam Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Media tempo telah membandingkan materi dalam buku kumpulan lembar kerja peserta didik dengan pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, dan hasilnya sama persis. Dalam buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, materi kontroversial itu terdapat pada halaman 170. Sedangkan dalam buku kumpulan Lembar Kerja terletak pada halaman 78, Tempo (20/03/2015).

Sangat disayangkan, bahkan disesalkan oleh banyak kalangan, materi pada Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti mengandung nilai-nilai kekerasan sesama manusia. Materi seperti itu akan menjadikan peperangan antar umat beragama. Pertanyaan yang selalu ada dibenak penulis, “Apakah orang Islam akan hidup sendirian di muka bumi ini, jika seruannya selain yang beriman kepada Allah Swt. dibunuh? Yang menganggap dirinya paling benar, apa iya mau hidup sendirian tanpa berdampingan dengan orang lain?

Jelas, hal itu mencederai nilai-nilai ajaran agama Islam dan nilai-nilai keindonesiaan. Tidak ada seruan (tanpa ilat) dalam ajaran Agama Islam untuk membunuh orang selain beragama Islam. Jelas juga, dalam Pancasila nilai-nilai yang harus ditanamkan adalah persatuan yang terwadahi dalam negara Indonesia. Walaupun dengan baju berbeda-beda, mempunyai ideologi yang sama, namun harus satu kesatuan memiliki tuhan yang Esa.

Penanaman Nilai

Pendidikan sebenarnya bukan hanya sebatas proses menyampaikan materi kepada siswa, apalagi hanya sebatas memproduksi ijazah. Walaupun saat ini, arah pendidikan tak tentu mau ke mana, tetapi pendidikan merupakan ranah yang paling efektif dalam pelestarian nilai-nilai. Melalui nilai-nilai itu, kemudian membentuk cara pandang siswa terhadap suatu hal.

Proses untuk membentuk karakter, kepribadian, dan keterampilan yang efektif dinilai melalui pendidikan. Walaupun proses pendewasaan seseorang itu efektif dilakukan oleh orang tua, namun sekolah saat ini mempunyai andil yang cukup besar. Kali ini, bukan persoalan ranah mana yang paling efektif untuk mendidik anak, melainkan apa yang seharusnya diterima oleh anak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Pendidikan dapat mengajari kita untuk saling menghormati dan mempercayai antar sesama. Pendidikan dapat menciptakan pribadi yang tidak merugikan orang lain. Hal itu bisa terwujud dengan catatan, jika yang diajarkan kepada siswa adalah nilai-nilai toleransi, perdamaian dan nasionalisme.

Berbeda jika kalau nilai-nilai yang disampaikan adalah intoleransi, siswa diajarkan untuk membunuh di luar dari kelompoknya. Seolah-olah kita diajari hidup pada zaman badui, di mana hidup hanya pada satu kelompok. Materi seperti itu menyebabkan kegaduhan masyarakat kelak. Semua, menganggap dirinya paling benar, paling suci-lalu siapa yang mempunyai kebenaran?

Hegemoni

Ada dua motif si pembuat materi yang berisi “Menyembah selain Allah Swt. atau musyrik boleh dibunuh”. Pertama, memang wawasan tentang keislaman kurang mendalam. Ia memaknai ayat Al-Qur’an hanya secara teks, tidak memperhatikan konteks. Pada ayat At-Taubah : 36 misalnya, “Dan perangilah kaum musyrikin itu semua sebagaimana mereka pun memerangi kamu semua”. Ayat ini tidak menyuruh memerangi “kaum musyrik” tanpa sebab. Buktinya, Rasulullah Saw. Tidak membunuh orang-orang yang di luar dari Agama Islam dalam keadaan biasa (tidak perang).

Kedua, orang yang membuat materi soal seperti itu mencoba menanamkan ideologi radikalisme atau kelompok tertentu. Pendidikan dinilai cara yang efektif untuk menghegemoni atau mempengaruhi kepribadian generasi muda. Melalui materi-materi yang disampaikan di sekolah, menjadi landasan hidup seseorang dalam bertindak dan bersosial. Bayangkan, saat siswa-siswi bersosial di masyarakat mereka pasti mengingat pelajaran yang disampaikan oleh guru, saat menasihati teman misalnya.

Materi seperti itu bisa juga dijadikan sebagai upaya untuk mempengaruhi kelompok lain, di mana kelompok lainnya secara sadar mengikutinya dan merasa tidak tertindas. Tindakan seperti itu termasuk sebagai upaya hegemoni. Hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun, kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya di mana kelompok yang di dominasi tersebut secara sadar mengikutinya.

Pendidikan dapat diartikan sebagai penguasa dalam menanamkan ideologi. Siapa yang memegang pendidikan itu, maka ia bisa mempengaruhi masyarakat banyak, khususnya generasi muda. Setidaknya dengan adanya pemahaman apa yang di ajarkan di sekolah, siswa akan menjalankannya. Di sinilah, penting bagi seorang guru untuk menanamkan sikap kritis kepada siswa. Bukan untuk menjatuhkan pendapat guru atau teman lainnya, melainkan ia bisa mengeksplor lebih mendalam soal apa yang dipelajari.

Mekanisme hegemoni tersebut dengan cara melakukan penguasaan kepada kelas bawah dengan menggunakan ideologi. Si pembuat materi tersebut merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung apa yang ideologi yang disampaikan. Kalau tidak disadari dan tidak dikritisi, penanaman ideologi kekerasan atau intoleransi tersebut akan diamini oleh generasi muda kita. Ia akan mempunyai pemahaman bahwa orang yang selain agama Islam boleh di bunuh.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago