Narasi

Lone Wolf Terorism : Bukti Kerentanan Gen Z yang Harus Diantisipasi Sejak Dini

Fenomena terorisme tidak lagi selalu berbentuk jaringan besar yang terorganisir dengan rapi. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan meningkatnya kasus terorisme berbasis individu yang dikenal dengan istilah lone wolf terrorism. Pelaku tunggal ini sering kali bergerak secara independen, tanpa instruksi langsung dari organisasi besar, namun dipengaruhi oleh propaganda ideologi radikal yang mereka konsumsi secara daring. 

Fenomena ini merupakan bukti nyata bahwa Gen Z, generasi yang hidup di tengah arus digital tanpa batas, sangat rentan terpapar radikalisasi hingga terjerumus dalam aksi teror. Kerentanan itu muncul karena dunia digital memberikan kebebasan tanpa filter, sementara daya kritis anak muda sering kali belum cukup kuat untuk melawan narasi ekstrem. 

Lone wolf terrorism sering kali lahir dari proses indoktrinasi digital, di mana seseorang secara perlahan menginternalisasi gagasan ekstremis tanpa harus bergabung dengan kelompok nyata. Mereka belajar sendiri melalui video, artikel, atau forum daring, kemudian bertransformasi menjadi pelaku yang siap melakukan serangan aksi teror terbuka. 

Indonesia pernah menghadapi beberapa kasus pelaku tunggal yang melakukan aksi kekerasan bermotif ideologi. Ciri yang menonjol dari kasus-kasus tersebut adalah keterlibatan anak muda atau Gen Z. Faktor yang membuat mereka rentan antara lain rasa ingin tahu yang tinggi, kebutuhan akan identitas, serta pencarian makna hidup yang kadang tidak diimbangi dengan bimbingan memadai. Propaganda radikal dengan mudah memanfaatkan celah ini, menawarkan jawaban instan berupa heroisme yang memang digandrungi generasi muda. 

Oleh sebb itu, antisipasi dini terhadap ancaman lone wolf terrorism pada Gen Z harus menjadi prioritas bersama. Upaya pencegahan tidak bisa dilakukan setelah mereka sudah masuk jauh ke dalam lingkaran radikalisme, melainkan harus dimulai sejak gejala awal. 

Fenomena lone wolf terrorism adalah peringatan keras bahwa radikalisasi bisa tumbuh diam-diam di tengah kehidupan digital Gen Z. Jika tidak diantisipasi sejak dini, ancaman ini berpotensi merenggut masa depan generasi muda dan menggagalkan visi Indonesia Emas 2045. 

Karena itu, setiap elemen bangsa—keluarga, sekolah, komunitas, negara, hingga Gen Z itu sendiri—harus mengambil peran dalam membangun benteng pertahanan ideologis. Antisipasi dini bukan hanya menyelamatkan individu, melainkan juga sebuah upaya untuk menjaga masa depan bangsa dari ancaman perpecahan dan konflik berkepanjangan. 

Indonesia tidak boleh lengah, sebab Gen Z adalah tulang punggung yang akan menentukan apakah cita-cita Indonesia Emas dapat terwujud atau justru hancur oleh infiltrasi radikalisme. Jika Gen Z dikuasai oleh propaganda radikal, maka jelas Indonesia Emas 2045 yang telah menjadi cita-cita bersama kita semua tidak akan tercapai

 

susi rukmini

Recent Posts

Gen Z dan Kejawen

Sapantoek wahyoening Allah Gya doemilah mangoelah ngelmoe bangkit Bangkit mikat reh mangoekoet Koekoetaning jiwangga Jen…

7 menit ago

Memadamkan Kebisingan dengan Moderasi : Transformasi Dakwah Moderasi Gen Z

Gen Z punya beban sejarah yang unik. Mereka mewarisi Indonesia, sebuah proyek peradaban yang dibangun…

3 jam ago

Rebranding Pancasila 5.0: Memviralkan Kebangsaan Gen Z di Era Digital

Mari kita bayangkan Indonesia bukan dilihat dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Tetapi, bayangkan…

1 hari ago

Dakwah Nge-Pop ala Influencer HTI; Ancaman Soft-Radicalism yang Menyasar Gen Z

Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik…

1 hari ago

Performative Male: Ruang Gelap Radikalisasi yang Menggurita di Era Gen Z

Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…

1 hari ago

Membedah Anatomi Gerakan Gen Z; Membangun Imajinasi Keindonesiaan yang Otentik

Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…

2 hari ago