Narasi

Malam Selikuran; Ekspresi Islam-Jawa Menyambut Lailatul Qadar

Sepuluh hari terakhir menjadi waktu yang keramat sekaligus mustajab. Di penghujung bulan Ramadan itu, pintu langit terbuka lebar. Ampunan Allah tersedia untuk umat yang bersimpuh menghaturkan taubat. Rahmat Allah tercurah ke bumi dibawa langsung oleh malaikat. Di salah satu malam di 10 hari terakhir Ramadan itu, terdapat Lailatul Qadar yang kedudukannya bahkan lebih mulia dari seribu bulan. 

Dalam kultur Islam Nusantara, Lailatul Qadar dinanti dan disambut dengan beragam tradisi. Salah satunya adalah Grebeg Malam Selikuran yang rutin digelar oleh Keraton Surakarta. Tradisi ini sudah ada sejak era Sultan Agung dan masih dipertahankan hingga sekarang. 

Ritual Grebeg Malam Selikuran digelar pada malam tanggal 21 Ramasan. Di dalam teknologi jawa, selikur bermakna angka 21. Grebeg Malam Selikuran berarti grebeg yang dilakukan pada malam tanggal 21 Ramadan. 

Grebeg itu melibatkan sekitar seribu abdi dalem yang berjalan dari Keraton sampai Masjid Agung dengan membawa “Ting” alias lampu pelita dan tumpeng yang jumlahnya seribu. Lampu pelita menyimbolkan risalah Islam yang membawa pencerahan laksana obor atau pelita.

Pelita juga simbol rekonstruksi sejarah ketika para sahabat menjemput Rasulullah sehabis menerima Wahyu di Jabal Nur. Sedangkan 1000 tumpeng melambangkan kedudukan Lailatul Qadar yang lebih mulia dari seribu bulan. 

Grebeg Malam Selikuran yang digelar Keraton Solo merupakan wujud dari pertemuan agama dan budaya loka atau lebih spesifiknya ajaran Islam dan budaya Jawa. Akulturasi budaya dan agama adalah sebuah hal yang niscaya.

Dalam konteks Islam di Nusantara, persinggungan Islam dan lokalitas merupakan strategi dakwah yang diadaptasi oleh Wali Songo. Sebagai penyebar Islam periode awal di Nusantara, Wali Songo berhadapan dengan beragam tradisi lokal yang telah eksis. 

Alih-alih menghapusnya, Wali Songo justru mengadaptasi kultur lokal dan disandingkan dengan ajaran Islam. Maka, lahirlah ekspresi keberislaman yang khas dan barangkali hanya ada di bumi Nusantara. Grebeg Malam Selikuran hanyalah satu dari sekian banyak ekspresi keislaman yang kental dengan nuansa lokalitas. 

Adaptasi Kultural Lokal dalam Dakwah Islam Nusantara 

Dalam perkembangannya, tradisi Selikuran tidak hanya digelar di lingkungan elite kerajaan saja. Melainkan juga diadaptasi oleh masyarakat di level bawah. Di kalangan masyarakat Jawa, tradisi malam Selikuran digelar dalam berbagai macam bentuk. Mulai dari menggelar kenduri atau makan bersama, khataman Alquran secara bergiliran, atau sekedar membagikan Bancakan, berupa makanan dan kudapan. 

Tradisi Malam Selikuran menyambut Lailatul Qadar biaa dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, fenomena itu menggambarkan betapa para pendakwah Islam periode awal di Indonesia adalah sosok yang berpikiran terbuka dan moderat. Mereka tidak anti pada lokalitas apalagi bertendensu menggusur eksistensinya. 

Sebaiknya, mereka justru mengadaptasi kultur lokal itu dan memberi sentuhan Islam di dalam ritualnya. Ini menggambarkan betapa bjaksananya para pendakwah tersebut. Hal ini berkebalikan dengan fenkmana sekarang dimana banyak pendakwah yang justru gemar membuahkan bahkan mengkafirkan tradisi lokal. 

Para pendakwah yang terobsesi oleh kemurnian ajaran Islam itu sampai rela melabeli saudara sesama muslim sebagai pelaku bid’ah, pelanggar syariah, atau bahkan murtad. Hanya gegara mereka gemar melakukan ritual keislaman yang dipengaruhi tradisi lokal.

Agenda pemurnian Islam dengan jalan frontal dan arogan ini tidak pelak justru menumbuhkan kontroversi dan polemik publik. Tidak jarang, label bidah dan kafir itu menjadi alat pembenaran untuk melakukam tindakan kekerasan. 

Di sisi lain, tradisi Grebeg Malam Selikuran juga membuktikan bahwa ekspresi keislaman yang tidak ada dalam teks tidak selalu menyimpang dan melanggar syariah. Ritual Grebeg Malam Selikuran yang digelar di kalangan elite Keraton Surakarta maupun masyarakat jelata sebenarnya sangat mencerminkan ajaran Islam. Hanya saja dimemas dalam budaya Jawa yang memang sarat dengan simbolisasi.

Arak-arakan manusia dalam ritual Grebeg adalah manifestasi ajaran Islam tentang ukhuwah. Persembahan seribu tumpeng adalah manifestasi dari ajaran sedekah. Tumpeng yang lantas dibagikan ke masyarakat akan membawa kebahagiaan sekaligus harapan ke penerimanya. Ini adalah manifestasi dari ajaran Islam tentang raja‘ hakbi berharap kepada berkah Allah. 

Grebeg Malam Selikuran adalah tradisi yang layak dilestarikan bahkan dikenalkan ke seluruh dunia. Itulah wajah Islam Nusantara yang sejuk, toleran, dan anti-kekerasan. Grebeg Malam Selikuran menggambarkan ekspresi keislaman Nusantara yang menerjemahkan ajaran Islam ke dalam simbol kultural yang elegan. 

 

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

4 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago