Narasi

Manusia Metaverse; Masihkah Gen Alpha Butuh Nasionalisme?

Beberapa tahun lalu, gambaran dunia virtual tiga dimensi seperti dalam film Ready Player One hanyalah mimpi. Namun, kini imajinasi virtual tiga dimensi itu kian nyata. Berbagai perusahaan pengembang kecerdasan buatan tengah mengembangkan program dan aplikasi yang memungkinan setiap individu tersambung dalam jaringan virtual berbasis tiga dimensi. Kita mengenalnya sebagai metaverse alias meta semesta.

Di dalamnya, wujud fisik kita memang hanya diwakili oleh  Avatar. Namun, kita bisa berperilaku layaknya di dunia nyata. Menjalin pertemanan, menonton konser virtual menggunakan virtual reality, bahkan membeli aset. Metaverse menjanjikan pengalaman hidup secara virtual dengan kesan yang imersif. Di dalam metaverse kita akan menjadi bagian dari warga global (global citizenship). 

Di titik ini muncul pertanyaan krusial. Jika jagat meta mampu menghadirkan dunia virtual tanpa sosiologis, lantas bagaimana nasib nasionalisme yang selama ini menjadi penanda identitas antar bangsa? Apakah nasionalisme masih relevan di era metaverse? Apakah anak-anak generasi Alpha masih membutuhkan identitas Keindonesiaan ketika masuk ke alam metaverse? 

Jika kita menengok sejarah, di awal 1990an ketika internet berkembang untuk pertama kalinya, ada kekhawatiran bahwa nasionalisme akan luntur. Kemunculan internet yang menghubungkan individu antar dunia diyakini akan menjadi akhir dari ideologi nasionalisme. Nyatanya, kekhawatiran itu tidak terbukti benar.

Beberapa dekade kemudian, nasionalisme masih menjadi ideologi yang relevan di kalangan anak muda. Rasa kebangsaan dan cinta tanah air masih menjadi salah satu identitas penanda di era internet. 

Jika berkaca pada fakta sejarah itu, maka kemungkinan besar metaverse tidak akan menghapus ideologi nasionalisme. Metaverse memang menjanjikan dunia virtual tiga dimensi tanpa batas. Namun, itu tidak berarti bahwa nasionalisme menjadi tidak relevan. 

Ada setidaknya tiga alasan mengapa nasionalisme masih relevan dan dibutuhkan di zaman metaverse. Pertama, nasionalisme adalah semacam naluri alamiah manusia. Setiap manusia memiliki ikatan batin atau psikologis dengan tanah air tempat dia dilahirkan.

Itulah mengapa para imigran yang telah bertahun-tahun tinggal di negara lain bahkan berpindah kewarganegaraan umumnya tetap terikat dengan tanah kelahiran. Mereka merawat nasionalisme itu dengan melestarikan tradisi dan budaya bangsanya.

Misalnya, imigran India di Kanada yang sampai hari ini masih merayakan berbagai tradisi India. Atau imigran asal Amerika Latin yang tunggal di Amerika atau Eropa dimana mereka tetap memakai bahasa ibu sebagai identitas kebangsaannya. 

Kedua, selain naluri alamiah nasionalisme juga menjadi semacam kebanggaan seseorang. Identitas kebangsaan yang melekat di diri seseorang bukan sekedar pembeda, melainkan membentuk unsur kebanggaan. Rasa bangga ini umumnya terkait erat dengan romantisme sejarah.

Setiap individu biasnya memiliki ikatan romantis dengan sejarah bangsa atau negaranya. Romantisme itu bisa didapat dari pelajaran sejarah di sekolah atau melalui cerita maupun legenda yang diceritakan turun-temurun. Nasionalisme erat kaitannya dengan narasi heroisme yang kerap kali muncul dalam narasi sejarah bangsa. 

Terakhir, nasionalisme masih akan tetap relevan lantaran di dunia metaverse ideologi akan dikontestasikan secara terbuka. Metaverse layaknya pasar bebas ideologi, dimana semua isme-isme akan dijajakan secara terbuka oleh dan untuk siapa saja.

Di tengah pasar bebas ideologi itu, rasa cinta bangsa atau tanah air menjadi urgen dan relevan untuk mempertahankan otentisitas individu. Setiap individu pasti ingin menjadi manusia otentik, manusia yang berakar pada asal-usulnya. Nasionalisme menjadi semacam tali yang mengikat individu agar tetap tertaut dengan akar otentisitasnya. 

Meski demikian, metaverse tetap mengahdirkan tantangan tidak ringan bagi gen Alpha. Metaverse sebenarnya lebih merupakan perpaduan antara dunia nyata dan virtual. Karakter individu di dunia nyata itulah yang akan diduplikasi di dunia virtual. Maka, sebelum memasuki alam metaverse, anak-anak generasi Alpha harus memiliki komitmen atas nasionalisme yang kokoh. 

Anak-anak yang memiliki fondasi nasionalisme yang kuat niscaya tidak akan kehilangan jatidiri dan identitas kebangsaannya di jagat metaverse. Bahkan sebaliknya, mereka akan menjadi agen nasionalisme di alam metaverse. 

Tentu, menjadi tugas bersama orang tua, guru, dan masyarakat untuk menanamkan nasionalisme sejak dini ke anak-anak generasi Alpha. Nasionalisme yang bukan sekedar jargon atau simbol, namun nasionalisme yang dihayati sebagai sebuah gaya hidup. 

 

Nurrochman

Recent Posts

Kaum Muda Sebagai Game Changer; Masih Relevankah Sumpah Pemuda bagi Gen Z?

Di peringatan Hari Sumpah Pemuda, Alvara Institute merilis whitepaper hasil riset terhadap generasi Z. Riset…

6 menit ago

Sumpah Pemuda di Medan Juang Metaverse: Menjaga Kedaulatan Digital Menuju Indonesia Emas 2045

Dunia metaverse yang imersif, kecerdasan buatan (AI) yang kian intuitif, dan komunikasi interaktif real-time telah…

7 menit ago

Penguatan Literasi Digital untuk Ketahanan Pemuda Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…

23 jam ago

Kontra-Terorisme dan Urgensi Mengembangkan Machine Learning Digital Bagi Pemuda

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, ancaman radikalisme tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi…

1 hari ago

Dari Jong ke Jaringan: Aktualisasi Sumpah Pemuda dalam Membangun Ketahanan Digital

Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul, mengukir sejarah dengan…

1 hari ago

Revitalisasi Sumpah Pemuda dalam Ketahanan Digital

Di tengah gelombang perubahan global yang tak terelakkan, yang dihadirkan oleh revolusi industri 4.0 dan…

2 hari ago