Categories: Kebangsaan

Masa Depan Toleransi di Indonesia (Bag.1)

Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia sesungguhnya telah dilengkapi dengan deretan aturan yang menjamin warganya tetap aman dan tenang, termasuk aman dan tenang dalam menjalankan keyakinan agamanya. Namun demikian, walaupun ada jaminan konstitusi, sikap intoleransi masih terlalu sering dijumpai di sana-sini. Sikap mau menang sendiri tersebut dibedakan berdasarkan empat kriteria:

  1. Intoleransi terhadap pemeluk agama lain seperti kasus penolakan gereja di Aceh baru-baru ini.
  2. Intoleransi terhadap kelompok yang dianggap berbeda seperti kasus penolakan terhadap Ahmadiyah dan Syiah.
  3. Intoleransi terhadap kelompok kepercayaan dan penghayat atau agama lokal lainnya yang dipaksa untuk memilih agama yang sejenis untuk administrasi kependudukan khususnya pencantuman kolom agama dalam KTP.
  4. Terkait intoleransi terhadap kelompok seperti Lia Eden dengan Agama Salamullah atau Ahmad Musyadeq dengan Jama’ah Al-Qiyadah atau kelompok lainnya seperti Isa Bugis, Baha’i, dan lainnya.

Pada intoleransi yang pertama, sikap intoleransi didasarkan atas ketakutan kelompok mayoritas akan berkembangnya agama kelompok minoritas. Pada intoleransi ke dua, sikap intoleransi terkait persoalan yang dianggap pokok aqidah dalam agama yang sama (satu agama). Pada intoleransi ke tiga, sikap intoleransi terkait sosial politik. Dan ke empat sikap intoleransi terkait persoalan yang dianggap penodaan agama.

Sikap intoleransi tersebut ternyata terjadi di semua kalangan, suku, agama, ras, dan golongan. Menariknya lagi, pelaku intoleransi didominasi oleh golongan keagamaan mayoritas.

Intoleransi terjadi karena terjadi kegagalan sistemik pada beberapa aspek yaitu:

  1. Pemahaman agama yang dangkal yang merujuk kepada klaim kebenaran absolut pada satu pihak atau satu agama
  2. Hukum, dimana hukum tidak bekerja pada kasus konflik berbasis agama seperti Penolakan terhadap pembangunan Geraja Piladelpiadi Ciketing Bekasi Jawa Barat atau Gereja Yasmin di Bogor, atau hukum tidak bekerja pada pelaku intoleransi
  3. Ketiadaan keteladanan dalam menerapkan nilai-nilai agama yang damai dan kasih sayang.
  4. Struktural, dimana pemerintah mengabaikan kelompok tertentu atas tekanan mayoritas.
  5. Lunturnya basis ideologi Pancasila yang tidak menjadi pedoman dan pandangan hidup dalam berperilaku dan bermasyarakat yang majemuk.
  6. Pendidikan, sistem pendidikan yang tidak secara ketat mengembangkan sikap toleran dan penghargaan terhadap perbedaan
  7. Lunturnya nilai-nilai keluarga, sikap hidup pragmatis dan hedonis serta tuntutan ekonomi menyebabkan orang tua lupa terhadap kewajiban untuk memberikan pendidikan dini melalui nilai-nilai keluarga. Aspek-aspek inilah yang menjadi bagian dari kajian disertasi ini.

Dalam melihat toleransi di Indonesia perlu cara pandang atau paradigma baru serta konsensus bersama dalam menetapkan dan menanamkan toleransi sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Paradigma baru tersebut menekankan kepada aspek penghargaan terhadap keragaman budaya, agama dan cara pandang yang berbeda yang ada di masyarakat. Paradigma baru tersebut salah satunya dibangun melalui pendidikan.

Ada banyak analisis dari para pakar tentang akar masalah dari peristiwa kekerasan tersebut. Salah satunya adalah disebabkan menipisnya rasa toleran antar sesama anggota masyarakat. Sekelompok masyarakat atau individu memiliki pandangan yang berbeda dan menganggap benar pandangannya, dan memandang salah apa yang menjadi pandangan orang lain atau kelompok lain yang tidak sepaham atau tidak sejalan.Anggapan salah terhadap pandangan orang lain tersebut kemudian dimanifestasikan dalam bentuk penolakan. Bentuk penolakan terhadap kelompok yang berbeda tersebut kadang dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis bahkan menjurus anarkis. Hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik horizontal dikalangan masyarakat sendiri.

Manhan Marbawi

Sekjen Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Koordinator Jakarta Edu Forum dan Guru PAI di SMPN 280, Jakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago