Kebangsaan

Ulama dan Media Perlu Beriringan di dalam Masa-masa Kekacauan Informasi

Ketika kita menatap panggung dunia yang penuh gejolak hari ini, ingatan saya sebagai sejarawan kerap terlempar pada sebuah peristiwa fundamental yang mengoyak jantung peradaban Islam di masa formatifnya. Saya tidak merujuk pada perang melawan imperium luar, melainkan sebuah tragedi internal yang jauh lebih menyakitkan. Peristiwa ini bermula dari riak-riak ketidakpuasan yang dipolitisasi, disebarkan melalui desas-desus dari pusat-pusat garnisun militer seperti Kufah, Basrah, dan Fustat, hingga akhirnya meledak menjadi pembunuhan Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan r.a.

Apa pelajaran terpenting dari peristiwa tersebut bagi kita di abad ke-21? Peristiwa itu bukanlah sekadar sengketa politik suksesi. Ia adalah manifestasi pertama dari betapa berbahayanya ketika siyāsah (politik) kehilangan hikmah (kebijaksanaan), dan ketika informasi—atau lebih tepatnya, disinformasi—dipersenjatai untuk membakar sentimen umat. Desas-desus tentang nepotisme dan pengelolaan keuangan negara, yang belum tentu terverifikasi, dibingkai sedemikian rupa untuk mendelegitimasi kepemimpinan yang sah. Di sinilah letak relevansi abadi dari sejarah: kita tengah menyaksikan repetisi dari pola yang sama, namun dalam skala global dan dengan teknologi yang jauh lebih canggih. Apa yang bisa kita sebut sebagai kekacauan informasi hari ini adalah gema modern dari peristiwa yang meruntuhkan Madinah kala itu.

Dalam konteks inilah, kita harus menelaah kembali peran dua pilar penjaga nalar umat: para ulama dan institusi media.

Pertama, mengenai para ulama. Status mereka sebagai pewaris para nabi bukanlah sekadar gelar kehormatan. Ia adalah sebuah mandat yang menuntut kapasitas intelektual dan spiritual yang paripurna. Seorang alim sejati tidak hanya menguasai dalil naqli, tetapi juga wajib memiliki mata batin atau wawasan untuk membaca al-wāqi’ al-mu’āṣir (realitas kontemporer). Tugas mereka adalah menerapkan Siyāsah Shar’iyyah—sebuah disiplin ilmu yang sering disalahpahami sebagai politik praktis, padahal esensinya adalah “seni mengelola kemaslahatan umat berlandaskan prinsip-prinsip syariat”. Tujuannya adalah jalb al-maṣāliḥ wa dar’ al-mafāsid (meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan).

Ketika konflik geopolitik di belahan dunia lain—entah itu di Palestina, Ukraina, atau di manapun—dibingkai dengan narasi sektarian yang simplistis, seorang ‘ālim yang memiliki fiqh al-awlawiyyāt (pemahaman atas skala prioritas) tidak akan ikut meniupkan genderang permusuhan. Sebaliknya, ia akan menjadi filter yang memisahkan antara solidaritas kemanusiaan yang tulus dengan provokasi ideologis yang bertujuan mengimpor konflik ke negeri sendiri. Ia akan mengingatkan umat bahwa akar masalah seringkali terletak pada perebutan sumber daya alam, hegemoni politik, dan kepentingan ekonomi, yang sengaja diselubungi dengan jubah agama. Inilah tugas intelektual terberat: membimbing umat untuk berpikir secara kompleks, bukan reaktif-emosional.

Kedua, institusi media. Dalam terminologi klasik, media bisa kita ibaratkan sebagai mimbar modern yang jangkauannya melampaui batas masjid dan geografis. Ia adalah sayf dhū ḥaddayn, pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi corong propaganda yang efektif. Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi taktik propaganda hari-hari ini. Mereka kerap menggunakan name-calling (menyebut pihak lain dengan sebutan yang buruk) untuk demonisasi lawan, dan melakukan simplifikasi realitas yang kompleks menjadi pertarungan hitam-putih. Gaya bahasa semacam ini sengaja dirancang untuk mematikan nalar kritis dan membangkitkan emosi yang membara.

Untuk melawan arus destruktif ini, media yang bertanggung jawab harus memegang teguh sebuah prinsip etis yang diajarkan langsung oleh Al-Qur’an dalam Surat Al-Hujurat, ayat 6: Tabayyun. “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya…”. Dalam praktik jurnalistik, tabayyun ini menjelma menjadi jurnalisme investigatif, keberimbangan sumber, dan penolakan untuk terjebak dalam siklus “siapa cepat dia dapat” yang mengorbankan akurasi. Media tidak boleh sekadar menjadi penyampai berita (nāqil al-khabar), tetapi harus menjadi pendidik publik (murabbī al-jamāhīr) yang meningkatkan literasi digital dan ketahanan informasi masyarakat.

Pada akhirnya, sinergi antara ‘ulama yang mencerahkan dan media yang mencerdaskan adalah ḥiṣn manī’ (benteng yang kokoh) bagi Indonesia. Falsafah Pancasila kita bukanlah slogan kosong; ia adalah kontrak sosial kebangsaanyang menyediakan landasan filosofis bagi persatuan dalam kemajemukan. Ketika para ‘ulama dengan istiqamah menyuarakan narasi raḥmatan lil ‘ālamīn dan para insan media berkomitmen pada amānah ‘ilmiyyah (amanah keilmuan) dalam memberitakan, kita sedang merawat manā’ah ijtima’iyyah (imunitas sosial) bangsa ini. Dengan imunitas yang kuat, sehebat apapun badai fitnah global yang menerpa, ia tidak akan mampu merusak tenun sosial kita yang indah dan berharga. Justru, Indonesia dapat berdiri tegak sebagai contoh bagi dunia, sebagai bukti bahwa nalar dan iman dapat berjalan seiring untuk mewujudkan perdamaian.

 

This post was last modified on 12 Juli 2025 9:57 AM

Syukron

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

2 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

3 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

3 hari ago