Apakah terorisme di tahun 2022 menurun? Jika berbicara terorisme sebagai aksi teror tentu jawabannya; mengalami penurunan, bahkan tidak ada sama sekali. Hanya upaya Siti Elina pada bulan Oktober lalu yang secara nekat mencoba menerobos pengamanan di Istana Negara. Selebihnya, kasus aksi teror sepanjang tahun 2022 tidak ditemukan.
Tentu hal ini patut disyukuri bersama untuk menjaga ketentraman dan kondusifitas masyarakat dan negara. Namun, berbicara terorisme bukan sekedar aksi, tetapi gerakan dan jaringan yang mendukung, memfasilitasi, merekrut, merencanakan dan menyiapkan tindak pidana terorisme. Jika berbicara dalam konteks pengertian yang luas tersebut, tahun 2022 bukan tahun yang sepi dari tindak pidana terorisme.
Setidaknya kita bisa melihat dari operasi penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Polri sepanjang tahun ini yang terjadi di berbagai daerah. Awal tahun 2022, Densus telah melakukan penangkapan 2 orang di Sumatera utara. Bulan Februari terjadi penangkapan di 3 kabupaten di Jawa Tengah, Sukoharjo, Batang, dan Sragen. Mei Kampus di Malang dikejutkan dengan penangkapan 1 orang mahasiswa. Pada Bulan Juni, Densus terbang ke Bima dengan menangkap tiga yang dikenal dekat dengan Santoso. Bulan selanjutnya, 8 orang ditangkap di Aceh. Bulan September 1 orang warga Lumajang tertangkap di Bali. Bulan Oktober terdapat penangkapan di Sampang Madura. Dan terakhir, penangkapan dua oknum polisi di Lampung.
Rentetan penangkapan terduga teroris di berbagai daerah tersebut menunjukkan sesungguhnya terorisme di Indonesia sedang tidak menurun. Dari rangkaian penangkapan, terduga teroris adalah mereka yang terdiri dari organisasi teror yang beragam dari JI, NII, dan JAD. Dari latar belakang sosial dan status juga nampak beragam dari wiraswasta, mahasiswa, ASN hingga aparat penegak hukum. Artinya, sebaran jaringan dan gerakan terorisme di Indonesia tidak hanya merata di berbagai wilayah tetapi merata di berbagai profesi.
Jika melihat fakta tersebut, penangkapan bisa kita pahami sebagai upaya pencegahan aksi sebagai langkap antisipasi dan pencegahan dini (preventive strike) sebagaimana amanat UU Nomor 5 tahun 2018. UU tersebut telah memberikan kewenangan lebih leluasa untuk melakukan penindakan dan cegah dini yang cukup efektif. Pasca disahkannya UU tersebut istilah aparat kecolongan terhadap aksi terorisme juga semakin menurun karena sudah mempunyai kewenangan melakukan tindakan sebelum aksi terjadi.
Namun, sebatas membaca dari aspek efektifitas kebijakan dan regulasi tidak cukup. Menurunnya aksi terorisme akhir-akhir ini bisa jadi sebagai bentuk evaluasi kelompok teror untuk tidak terburu-buru melakukan aksi amatiran tanpa persiapan matang sebagaimana dilakukan gerakan ISIS dan afiliasinya. Model gerakan amatiran dan serangan tanpa rencana sudah tidak begitu populer pasca ISIS runtuh.
Bisa jadi dan sangat mungkin terjadi bahwa kelompok teror di Indonesia sedang melakukan hibernasi dan perubahan strategi. Dua pola strategi yang lumrah dilakukan adalah taqiyah dan tamkin. Taqiyah merujuk pada sikap pura-pura untuk melebur dan membaur dengan mereka yang berbeda pandangan atau secara sengaja berikrar NKRI dan bekerja di lembaga kenegaraan yang dipandang thagut. Meskipun model i’dad juga dilakukan di beberapa wilayah dalam menyiapkan pasukan.
Sementara strategi tamkin adalah upaya penguasaan wilayah dan konsolidasi di beberapa kelembagaan. Tidak hanya organisasi kemasyarakatan, lembaga Pendidikan, dan partai politik, tetapi ruang lembaga pemerintahan dan aparat penegak hukum mulai disusupi kelompok teror.
Atas dua strategi tersebut, tidak mengherankan jika dalam penangkapan terduga terorisme, mereka terdiri dari berbagai macam latar belakang profesi. Bahkan tahun 2021 publik dikejutkan dengan oknum anggota MUI yang ditangkap oleh Densus 88. Profesi guru, ustadz, mahasiswa dan ASN bagian dari strategi taqiyah dan tamkin kelompok teror untuk membangun kekuatan dengan tidak terburu-buru melakukan aksi.
Kegagalan menarik simpati publik dalam setiap aksi teror di tanah air dan semakin aparat penegak hukum dan pemerintah memperkuat regulasi untuk menutup celah aksi telah menjadi pembelajaran kelompok teror. Mereka tidak akan lagi fokus pada penyerangan aksi amatiran tanpa perencanaan yang matang terkecuali para lone wolf yang terdoktrin secara mandiri dan leaderless. Untuk kasus yang terakhir, tentu kita tidak bisa memprediksi lebih jauh kecuali sebagai aksi nekat yang tidak terencana.
Kejutan untuk mencuri momentum penting seperti hari nasional, tahun baru dan event besar lainnya kemungkinan besar tidak akan terjadi dalam waktu-waktu dekat, meskipun hal itu tetap harus diwaspadai dan dideteksi sejak dini. Fokus kelompok teror saat ini adalah penguatan basis dan konsolidasi kader serta rekrutmen di berbagai lini masyarakat yang lebih terstruktur. Bisa sangat mungkin kelompok teror juga memanfaatkan momentum 2024 dengan masuk ke berbagai kekuatan politik untuk melakukan invetasi politik di tahun berikutnya.
Hal yang juga tidak boleh diabaikan bahwa terorisme juga berbicara tentang motivasi ideologis atau paham. Sebaran narasi teror yang lebih tegas seperti halal membunuh kafir, ajakan jihad, pengkafiran negara, aparat, dan Pancasila memang tidak muncul secara bebas di ruang publik jika dibandingkan dua dekade sebelumnya.
Sebaran narasi kelompok radikal lebih banyak memainkan isu politik identitas, intoleransi dan pengarusutamaan beragama secara kaffah. Narasi ini lebih menuai simpati masyarakat untuk menggugah pencarian identitas baru. Sebaran narasi ini bukan tidak mungkin akan meramaikan kontestasi politik 2024 sebagai bagian dari meramaikan kontestasi wacana di ruang publik.
Terakhir dan teramat penting dalam rangkaian memutus gerakan terorisme adalah persoalan pendanaan terorisme. Pendanaan terorisme di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti. Dana dari luar tetap menjadi idaman potensial, tetapi dana yang dikeruk dari dalam dengan topeng lembaga donasi, csr hingga kotak amal harus diwaspadai. Pendanaan menjadi cukup krusial dalam jaringan terorisme. Tanpa dana, aksi mereka hanya mengandalkan narasi yang tidak bernyali.
Dengan melihat perubahan-perubahan gerakan dan pola propaganda tersebut, harus ada kebijakan dan program yang lebih tepat yang dimainkan negara. Upaya pencegahan melalui penangkapan (preventive strike) tetap harus ditingkatkan untuk mencegah aksi terjadi. Namun, upaya kontra radikalisasi dan pemutusan sel jaringan dan gerakan di tengah masyarakat dan lembaga masyarakat dan negara harus juga menjadi perhatian. Jika tidak, bukan tidak mungkin negara digerogoti dari dalam melalui upaya pembusukan oknum-oknum di berbagai lembaga masyarakat dan pemerintah.
This post was last modified on 30 November 2022 2:12 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…