Narasi

Membangun Demokrasi: Kritik Boleh, Provokasi Jangan

Keputusan pembatalan ibadah haji yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama beberapa waktu lalu membuat publik Indonesia geger. Apalagi, setelahnya banyak beredar kabar palsu alias berita hoax seputar pembatalan ibadah haji yang menyudutkan pemerintah. Dari mulai dana haji habis, tagihan haji belum dibayar, pemerintah tidak mampu bernegosiasi dan berbagai hoax lainnya.

Belum lagi, banyak tokoh publik yang notabene berseberangan dengan pemerintah mempolitisir keputusan tersebut. Mereka memanfaatkan keputusan itu untuk terus menyerang dan menyalahkan pemerintah. Mereka juga melakukan provokasi terhadap rakyat agar menentang segala keputusan pemerintah tanpa mau melihat secara adil dan berimbang. Mereka menyebarkan kabar-kabar menyesatkan terkait pembatalan ibadah haji untuk memprovokasi rakyat.

Klarifikasi dan penjelasan yang dilakukan oleh Pemerintah RI lewat berbagai platform terkait pembatalan ibadah haji tak berdampak besar. Hoax dan provokasi sudah tersebar. Ibarat anak panah yang telah lepas dari busurnya. Tidak dapat ditarik kembali. Padahal jelas, pemerintah membatalkan ibadah haji pada tahun ini dikarenakan pandemi covid-19 belum reda. Keputusan itu diambil demi keselamatan jamaah haji!

Beruntung, di tengah hoax dan provokasi yang telah beredar, Pemerintah Arab Saudi mengumumkan keputusan terkait ibadah haji tahun 2021. Melalui Kementerian Haji, Pemerintah Arab Saudi memutuskan bahwa kuota haji untuk tahun 2021 hanya untuk 60.000 orang. Itu pun, hanya berlaku untuk warga Arab Saudi dan warga negara Asing yang bermukim di Saudi.

Bisa ditebak, setelah itu pihak-pihak yang telah menyebarkan hoax dan memprovokasi rakyat kemudian minta maaf, meskipun ada yang cuci tangan. Kasus seperti itu sudah seringkali terjadi. Menyebarkan hoax, setelah tidak terbukti, kemudian minta maaf. Tentu saja, hal tersebut menciptakan demokrasi yang tidak sehat. Sebab, energi bangsa yang besar hanya habis untuk mengurusi hoax dan provokasi dari para pembenci.

Kritik dan Provokasi

Umumnya, para pihak-pihak yang senantiasa merecoki setiap keputusan pemerintah selalu mengatasnamakan kritik atas segala tidakannya. Apabila pemerintah bertindak keras, mereka menuduh pemerintah anti kritik. Padahal kritik dan provokasi, bedanya jelas sekali.

Kritik adalah sebuah tindakan analisis dan evaluasi terhadap sesuatu yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu memperbaiki sebuah pekerjaan atau kebijakan atau yang lainnya. Sementara provokasi menurut KBBI adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan

Syahdan, dari pengertiannya saja, sudah sangat berbeda. Oleh karenanya, sangat tidak tepat jika menyebut perbuatan yang membangkitkan kemarahan publik disebut kritik. Jelas hal itu perbuatan salah!.

Menahan Diri

Dalam pemerintahan demokrasi, kritik memang sebuah keniscayaan. Hal itu harus ada untuk mencegah pemerintah bersifat otoriter dan semaunya sendiri. Akan tetapi, kritik yang dilontarkan memang harus benar-benar kritik. Paling tidak kritik membangun yang disertai solusi. Bukan provokasi yang berujung benci.

Apabila provokasi yang memancing kemarahan rakyat terus dilakukan, maka hal itu akan sangat membahayakan demokrasi kita. Bukan kemaslahatan yang didapat, tapi kehancuran yang nyata.

Oleh karena itu, penting sekali semua pihak harus saling menahan diri. Pihak oposisi atau pihak yang berada di luar pemerintah, sudah seharusnya menyampaikan setiap kritik dengan elegan. Tanpa menyebarkan hoax ataupun tanpa provokasi. Jadilah oposisi yang bermartabat agar mampu meraih simpati rakyat. Jangan hobi menyebarkan berita menyesatkan, karena efeknya sangat menakutkan.

Pemerintah juga harus kreatif menyampaikan setiap kebijakan atau pun keputusan. Sampaikan sosialisasi secara serentak lewat berbagai media, baik cetak maupun online. Manfaatkan juga saluran media sosial yang mayoritas penggunanya kaum milenial. Sampaikan sosialisasi secara kreatif untuk meraih perhatian kaum muda. Sehingga hal itu menutup celah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan hoax.

Bagi masyarakat, sudah seharusnya meningkatkan literasi digital. Agar tidak mudah tertipu oleh hoax dan tersulut oleh provokasi-provokasi dari para pembenci. Penting sekali untuk memahami konsep sharing sebelum saring. Jangan asal menyebarkan berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Lakukan cek and ricek ketika mendapatkan sebuah kabar. Jika benar, sebarkan. Jika hoax, laporkan.

Mari untuk terus membangun demokrasi di negara ini dengan cara-cara yang elegan. Kritik boleh, provokasi jangan!

This post was last modified on 14 Juni 2021 12:27 PM

Nur Rokhim

Alumnus Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN) NU DIY.

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

6 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

6 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

7 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

8 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago