Narasi

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di berbagai negara, mereka terlibat dalam aksi menentang ketidakadilan. Nepal menjadi contoh nyata bagaimana generasi muda mampu menggerakkan revolusi yang mengguncang fondasi politik lama. Di Indonesia, pada akhir Agustus lalu, situasi serupa tampak ketika banyak Gen Z turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan mereka. Tidak hanya di ruang fisik, tetapi juga di media sosial, suara mereka menggema dengan cepat, memengaruhi wacana publik secara masif. Inilah keunikan generasi ini: keterampilan mengorganisir aspirasi dalam jaringan digital, yang kadang lebih efektif dibandingkan mobilisasi konvensional.

Namun, energi yang besar selalu membawa risiko. Keberanian Gen Z untuk turun ke jalan, bersuara di dunia maya, dan menantang otoritas kerap membuat mereka rentan dimanfaatkan pihak tertentu. Radikalisasi, infiltrasi ideologi yang mengusung kekerasan, atau manipulasi politik praktis dapat dengan mudah masuk ke ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh lemahnya pendampingan. Sejarah mengajarkan bahwa kemarahan massa yang tidak terarah bisa berubah menjadi bumerang. Gen Z, dengan idealisme yang masih murni dan kepekaan yang tinggi, membutuhkan orientasi yang jelas agar keberanian mereka tidak hanya menghasilkan kericuhan sesaat, melainkan melahirkan perubahan yang berkelanjutan.

Di titik ini, membentuk Gen Z yang bukan hanya cerdas dan kritis, tetapi juga cinta perdamaian menjadi keharusan bagi kita semua. Kecerdasan dan daya kritis tanpa diimbangi dengan sikap cinta damai hanya akan menambah polarisasi. Kritik yang tajam namun nihil empati akan melahirkan permusuhan. Sementara cinta damai yang tanpa kecerdasan bisa menjelma kepasrahan pada ketidakadilan. Perpaduan ketiganya harus dipertemukan dalam satu kerangka: menjadikan Gen Z sebagai generasi yang berani melawan ketidakadilan, tetapi dengan cara-cara yang menjaga martabat kemanusiaan dan merawat keutuhan bangsa.

Perdamaian bukan berarti diam terhadap ketidakadilan. Justru cinta damai sejati mengandaikan keberanian untuk melawan, tetapi dengan mengedepankan jalan-jalan yang memanusiakan manusia. Dalam tradisi demokrasi, ruang itu tersedia. Demonstrasi, kebebasan berpendapat, hingga kritik terhadap pemerintah merupakan bagian dari mekanisme damai dalam menyuarakan aspirasi. Gen Z perlu dipandu untuk memahami bahwa mengubah sistem tidak selalu harus dengan cara-cara destruktif. Membakar fasilitas umum, menyerang aparat, atau menyebarkan ujaran kebencian justru akan merusak misi yang hendak mereka capai.

Indonesia sendiri sedang berada dalam situasi yang rentan. Ketidakpuasan publik terhadap kebijakan serta maraknya penyalahgunaan isu agama oleh kelompok radikal menjadi ancaman nyata bagi keutuhan bangsa. Dalam konteks ini, Gen Z tampil sebagai harapan. Mereka bisa menjadi penyeimbang, sekaligus kekuatan penekan terhadap pemerintah yang lalai, namun tetap dalam bingkai demokrasi dan perdamaian. Tantangannya adalah memastikan bahwa keberanian Gen Z tidak dibajak oleh mereka yang ingin menyalakan konflik.

Generasi Z ini harus diyakinkan bahwa suara mereka berharga, bahwa idealisme mereka penting, dan bahwa cara-cara damai jauh lebih kuat daripada kekerasan. Jika itu bisa diwujudkan, maka Gen Z akan menjadi generasi yang tidak hanya menyuarakan kritik, tetapi juga menawarkan solusi; tidak hanya berani menentang, tetapi juga mampu merawat perdamaian; tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga penulis masa depan bangsa.

 

L Rahman

Recent Posts

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

5 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

5 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

3 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

3 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

3 hari ago

Algoritma Kemarahan; Bagaimana Kegaduhan Medsos Berperan Mendelegitimasi Pemerintah?

Akhir Agustus, ketika sejumlah kota di Indonesia dilanda demonstrasi massa, media sosial pun ikut bergejolak.…

4 hari ago