Narasi

Memupuk Kesetiakawanan dalam Perbedaan

Isu perbedaan yang muncul sejak nabi Adam hingga sekarang, selalu menampakkan hasil yang ambigu. Satu sisi perbedaan antar manusia dan kelompok dapat menghasilkan wajah persatuan yang kuat, sedangkan sisi lain perbedaan dapat menghasilkan wajah pertentangan. Persatuan dalam perbedaan adalah cita-cita yang Allah perintahkan dalam al-Qur’an untuk peradaban manusia yang damai, sedangkan pertentangan antar perbedaan ini didasari faktor nilai yang kurang ditempatkan pada tempatnya. Nilai agama maupun budaya yang tidak diterapkan pada waktu yang tidak pas, maka akan memunculkan sebuah gerakan yang mempertentangkan diri sendiri atau kelompok kepada kelompok lainnya.

Isu-isu perbedaan ini telah banyak dibumbui dengan isu-isu SARA yang mengarahkan pada permusuhan dan pertentangan. Nilai inti yang diusung dalam hal ini ialah fanatisme, dengan dalih bahwa hanya diri sendiri dan kelompok yang dianutlah yang paling benar, sedangkan berteman dengan kawan yang berbeda akan merusak jati diri seseorang maupun kelompok. Isu-isu SARA ini banyak disebar dalam berbagai media tanpa ada filter yang memadahi, maka tidak heran jika banyak permusuhan yang berangkat dari sebuah perbedaan yang diinfiltrasi dengan berbagai energi negatif.

Pertentangan atau permusuhan yang muncul dalam perbedaan, sama halnya dengan tidak adanya kesetiakawanan antar sesama manusia di dunia ini. Manusia memiliki sifat setia kawan dan juga memiliki sifat permusuhan, maka yang harus dikuatkan bukanlah sifat permusuhan, melainkan sifat kesetiakawanan manusia. Memupuk kesetiakawanan dalam perbedaan bukanlah pekerjaan yang mudah, bukan pula keinginan dari sebagian kelompok manusia. Tetapi hal ini harus tetap terus dikuatkan dari ranah yang paling sempit hingga ranah yang paling luas.

Berbeda dan Tetap Setia

Memunculkan dan memupuk kesetiakawanan terhadap sesama manusia, harus diprogram dengan sistematis. Sifat kesetiakawanan ini bisa muncul dan terus meningkat apabila seseorang memahami dan menghayati nilai inti atau core values, sehingga dapat menggerakkan dirinya dalam kesetiakawanan. Core Values yang diusung dalam memupuk kesetiakawanan ini ialah “Persaudaraan dan Persatuan”, yang digerakkan dalam perbuatan setiap hari, baik itu dalam organisasi maupun dalam interaksi sosial manusia.  Jika core values tersebut dapat diserap dan dihayati dengan baik oleh bangsa Indonesia, maka ia akan semakin memperkuat kesetiakawanannya terhadap sesama manusia. Memahami dan menghayati core values merupakan alasan terkuat dari seseorang dalam bergerak dalam perbedaan di Indonesia.

Oleh karena itu, menerjemahkan core values kesetiakawanan di Indonesia harus dimulai dari ranah terkecil dulu, yaitu pertama dari diri sendiri; kedua, keluarga; ketiga, lingkungan sekitar; keempat, nasional. Menggerakkan kesetiakawanan ini harus dimulai dari diri sendiri, karena individulah yang mengelola ritme kesetiakawanan terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain. Jika kesetiakawanan ini sudah berhasil dilakukan terhadap diri sendiri, maka kesetiakawanan terhadap sesama manusia akan baik. Orang lain akan dianggap seperti dirinya sendiri yang membutuhkan kesetiakawanan, sehingga sekalipun perbedaan agama, ras, suku, antargolongan sangat nampak, namun nilai itni dari kesetiakawanan dapat diterapkan dengan baik.

Memupuk kesetiakawanan dalam perbedaan ini bisa dilaksanakan melalui beberapa hal, yaitu pertama, berusaha memahami orang lain yang berbeda; kedua, mendahulukan nilai kemanusiaan secara universal; ketiga, dialog bersama; keempat, komitmen mengukuhkan persaudaraan. Harapan dari kesetiakawanan ini bagi semua orang ialah terciptanya masyarakat yang saling memahami dan memiliki keteguhan hati dalam sebuah ikatan persaudaraan di Indonesia.

This post was last modified on 20 Desember 2017 1:01 PM

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

18 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

20 jam ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

20 jam ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

2 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

2 hari ago