Narasi

Mencegah Intoleransi di Pendidikan Anak Usia Dini

Pepatah Arab mengatakan, “Subbanul yaum rijalul ghadz”, pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Dalam konteks kebangsaan pepatah tersebut memberi inspirasi terhadap kelangsungan dan kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter anak bangsa, semakin baik karakter anak bangsa maka akan semakin maju pula suatu bangsa.

Kehidupan sosial dalam masyarakat yang sudah dicemari dengan permasalahan sosial seperti intoleransi, maraknya paham radikal serta banyaknya aksi-aksi terorisme dan sikap anti NKRI merupakan contoh penurunan karakter anak bangsa.

Fenomena ini membuktikan pendidikan terhadap anak tidak bisa mencapai hasil maksimalnya. Mengutip Helen Keller, “toleransi adalah hasil tertinggi dari pendidikan”. Toleransi adalah kunci menuju kemajuan bangsa. Tanpa toleransi, Indonesia sebagai negara multi kultural tidak akan bisa mencapai apa yang disebut “kemajuan”.

Oleh karenanya, pendidikan toleransi harus dibangun sedari dini. Sejak pendidikan usia dini nilai-nilai toleransi harus telah diajarkan dalam bentuk teoretis dan praktis. Karena pendidikan toleransi sebenarnya berangkat dari dua titik pijak yaitu pada ranah teoritis berupa pengetahuan tentang toleransi serta ranah praktis berupa interaksi dengan yang berbeda keyakinan, berbeda penafsiran, dan perbedaan suku maupun ras.

Maraknya sekolah berbasis agama, di mana muridnya datang dari satu agama bahkan satu madhab menjadi fenomena menggembirakan dari sudut pandang penguatan literasi keagamaan. Murid bisa fokus pada pemahaman agama dan madhab yang dianut. Sebab tidak ada satu agama apapun yang mengajarkan untuk membenci pihak lain di luar agama dan madhabnya.

Namun di sisi lain membawa dampak buruk kalau kalau tidak dikelola secara baik. Privatisasi pendidikan mengkondisikan siswa hampir tak mengenal kelompok lain. Hal ini menjadi salah satu faktor pembentuk sikap intoleran. Sikap ekstrim cenderung muncul dari polarisasi seperti ini. Itulah kenapa pendidikan toleransi perlu diajarkan di sekolah-sekolah berpijak dari dua ranah seperti telah dijelaskan; yaitu ranah teoritis dan praktis.

Dua ranah toleransi ini harus kompatibel dan tidak cukup hanya salah satunya. Toleransi yang hanya berbasis pemahaman teoritis hanya akan melahirkan siswa yang kurang peka pada realitas. Seperti dimaklumi, realita perbedaan di masyarakat tidak sesederhana seperti sekedar menghormati perbedaan, menghindari SARA, ataupun menolak radikalisme.

Unsur-unsur toleransi cukup kompleks, meliputi gorong-gorong, tenggang rasa, kepekaan multikultural, internalisasi nilai dan dan keterlibatan intelektual-emosional sisa. Hal itu tidak bisa terpenuhi kalau hanya mengandalkan basis teoritis tentang toleransi. Harus diimplementasikan lewat pelatihan-pelatihan praktis di kelas maupun di luar kelas. Intinya, murid harus terlibat langsung dalam praktek toleransi.

Di pendidikan usia dini pemetaan toleransi yang telah dibicarakan tidak mesti masuk dalam rancangan kurikulum. Bisa dengan cara disampaikan sebagai pembuka pelajaran. Disampaikan kepada siswa bahwa perbedaan itu adalah fitrah manusia yang sudah dikehendaki oleh Tuhan.

Penting bagi anak-anak untuk mengenal komunitas yang lebih beragam; agama, suku, ras dan golongan. Dengan sendirinya anak akan memahami keragaman sebagai sesuatu yang harus diakui.

Semua itu akan berjalan sempurna kalau guru-guru yang mengajar memiliki sikap toleran yang baik. Hal ini penting diantisipasi sebab saat ini arah institusi pendidikan banyak yang rapuh. Ada banyak fakta kelompok radikal yang menyusup ke dalam institusi pendidikan.

Paham radikal yang telah menelusup ke dalam institusi pendidikan sengaja membentuk karakter siswa menjadi seorang yang intoleran. Karena memang tujuan kelompok radikal adalah untuk membentuk seseorang menjadi intoleran, sebab dari sikap intoleran kemudian menjadi radikal, kemudian menjadi teroris.

Pendidikan toleransi sejak dini sangat penting untuk mensterilkan kehidupan sosial yang sudah dicemari sikap intoleransi yang begitu subur. Jika tidak, maka lembaga-lembaga pendidikan menjadi “miniatur masalah intoleransi” sebab praktek intoleransi yang berkembang di masyarakat tumbuh subur di dalam institusi pendidikan.

Kalau seperti itu, maka institusi pendidikan akan memproduksi anak-anak atau pemuda intoleran yang dominan akan menimbulkan efek negatif baik pada tataran kehidupan beragama maupun kehidupan berbangsa. Sekolah tidak menyumbangkan kehidupan berbangsa yang harmonis, persatuan yang kuat, dan kedamaian. Sebaliknya, berkontribusi menciptakan peliknya kehidupan berbangsa karena dipenuhi sikap intoleransi, radikalisme dan terorisme.

This post was last modified on 20 Januari 2023 7:15 PM

Abdul Hakim

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

14 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

16 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

16 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

16 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago